Sabtu, 06 Agustus 2016

Kapan Terakhir Anda Pergi ke Kuburan?

oleh Made Teddy Artiana

"Aku tidak mau menghantar mu, aku hanya mau menjemput mu.
Kalau menghantar, aku pasti pulang sendirian, tetapi kalau jemput, kita pulang
berdua.
Makanya kalau diminta memilih, aku lebih baik jemput daripada menghantar.
Aku tidak mau ditinggal sendirian".


Petikan diatas bukan sebuah puisi cinta ABG ataupun syair lagu selingkuh 'sontoloyo' yang latah dijadikan jimat penglaris artis sekarang. Kalimat-kalimat ini yang kami dengar di sebuah prosesi pemakaman. Seorang ibu muda lirih mengatakannya. Berulang-ulang.

Bertiga mereka, ibu dan dua anaknya saling berangkulan. Tubuh-tubuh mereka bergetar lemah, lelah dihajar kesedihan dan putus asa. Tidak ada lagi tangis yang membahana laksana guruh disiang bolong, yang ada hanya tangisan dalam yang pilu menyayat hati. Tidak ada lagi air mata yang bisa ditumpahkan oleh mata-mata yang bengkak karena meratap itu. Mereka menatap hampa ke arah liang lahat, menyaksikan orang yang sangat mereka cintai, perlahan diturunkan kedalam tanah merah. Seseorang tempat mereka berbagi canda, tawa dan duka, kini dimasukkan ke dalam perut bumi, lewat tali-tali tambang.

Pemandangan yang membuat semua yang memiliki hati, meneteskan air mata. Mereka yang hadir, baik yang berambut hitam, apalagi yang beruban membisu tertegun.

Dia, seorang manager berusia belia dari sebuah perusahaan penerbangan terkemuka, baru saja dipanggil menghadap ilahi. Kepergiannya yang begitu mendadak menyisakan duka yang dalam bagi istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Tidak hanya itu saja, perusahaan tempat ia bekerja juga kehilangan manager unggulan yang baru saja akan dipromosikan. Begitu juga dengan kami saudara dan sahabat-sahabat nya pun seolah tidak percaya dengan apa yang kami lihat. Begitu muda, demikian cepat dan sangat tak terduga.

Demikianlah kematian, satu-satunya bagian dari episode kehidupan yang harus dilalui oleh setiap mahluk yang berlabel 'hidup'. Hidup tak lengkap tanpanya. Kadang dia datang merangkak perlahan, namun tak jarang menyergap tiba-tiba. Tetapi walaupun pasti, hanya sedikit dari kita yang ingat akan bab yang satu itu. Cukup mengherankan. Apakah itu satu-satunya bab yang tidak ingin kita bahas dari keseluruhan buku kehidupan ini. 

Pada bab pertama mungkin tertulis tentang kelahiran. 
Bab kedua dan ketiga tentang masa kecil. 
Bab ketujuh tentang pernikahan. 
Bab kesembilan tentang perselingkuhan yang memuakkan. 
Selanjutnya tentang ambisi atau tambah istri. 
Bab kesebelas tentang entrepreneurship..
lalu tentang tips mendatangkan uang dan kesuksesan. 

Tetapi bab terakhir, bertuliskan 'kematian', jarang dilirik. Kurang peminat. Mungkin karena bab pertama hingga bab kesekian selalu berbicara tentang 'aku' meskipun kadang diselubungi hal-hal yang tampak mulia, tetapi bab terakhir –bab penutup- berbicara tegas penuh otoritas tentang 'DIA', produser sekaligus sutradara hidup ini.

Begitu banyak mailing list tentang kesuksesan dan entrepreneur, tetapi milist tentang 'kematian', memang bukan ide yang akan mendatangkan uang bagi kita. Belum pernah ada seminar tentang "Seberapa Siap Anda Untuk Meninggal Dunia?" diproklamirkan oleh sebuah event organizer. Pernahkah Anda temui seminar tentang "Apa Yang Telah Anda Berikan Sebelum Anda Dipanggil Sang Khalik?" penuh sesak disemuti orang-orang berdasi? 

Kalaupun ada, mungkin hanya kaum sufi dan mereka yang sengaja memencilkan diri di hutan dan gunung, berminat akan seminar gila itu.

Pernah seorang sahabat memberikan nasehat aneh sebagai berikut. Jika suatu saat jabatan Anda direncanakan naik lebih tinggi, atau perusahaan Anda sedang berkembang sangat pesat, atau ada wanita cantik milik orang lain yang menggoda, pergilah ke kuburan. Ia menyarankan kita duduk berlama-lama di sebuah makam yang tidak kita kenal, bahkan jika Anda punya cukup nyali, tidur beberapa menit diantara makam yang berbaris rapi. 

Sebuah nasehat yang kurang waras tentunya. Tetapi ada sebuah logika yang cukup kuat didalamnya. Maksudnya begini, 'ziarah' seringkali sangat ampuh membuat kita akan segera
ingat tentang mereka yang ada dulu pernah ada di puncak, bahwa mereka itu semua berakhir sebagai tulang belulang diperut bumi. Ziarah serta merta akan efektif membuat Anda ingat akan 'bab terakhir'. Pernah ada sebuah kalimat dari seorang bijak berkata demikian, "Beritahulah aku umurku, supaya aku tahu betapa fananya aku". 

Rupanya memang kita ini para manusia yang hebat, brilian, gagah, tampan, cantik, sexy, sekaligus pelupa ini harus sering-sering diingatkan akan bab terakhir hidup kita. Bab yang mengajarkan kita tentang siapa Pemilik Sejati dari segalanya. Bab yang mengajarkan bagaimana meninggalkan tinta emas pada perjalanan kita yang sebentar dimuka bumi ini. Lampiran-lampiran terakhir yang memberikan peta yang jelas tentang jalan pulang ke rumah. Bagian yang sering kali kita lupakan. Mungkin dengan demikian jiwa kita akan selalu dipenuhi dengan kerendahan hati, kasih dan syukur.

Jika demikian sepertinya frekuensi nonton bola bareng, kongkow-kongkow dicafé atau pergi ke dugem, harus sedikit dikurangi. Mengapa ? Karena tempat-tempat diatas seringkali membuat kita lupa akan bab terakhir.Penggantinya adalah 'wisata lubang kubur' atau mungkin sekedar berperan serta sebagai penghantar dalam sebuah upacara pemakaman. Kegiatan ini cukup efektif untuk mengingatkan kita bahwa tidak ada skenario 'aku ingin hidup seribu tahun lagi' dalam hidup ini. Apalagi cepat atau lambat, siap atau tidak siap, kita bukan lagi sebagai pengantar, tetapi merekalah yang mengantarkan Anda dan saya ke sana. Percayalah itu pasti terjadi.

Persoalannya, jika itu terjadi satu jam dari sekarang, apakah kita sudah siap ? Jawaban atas pertanyaan itu tentu melibatkan banyak hal. Seberapa indah jejak kita. Seberapa besar manfaat yang kita tinggalkan. Seberapabanyak jalan bengkok yang telah kita luruskan....dan seterusnya dan seterusnya.

Jika tulisan-tulisan ini lebih tampak sebagai sesuatu yang 'menakut-nakuti' atau sesuatu yang melemahkan semangat Anda, saya pribadi mohon maaf. Karena saya pribadipun -kalau mau jujur- takut juga. Tetapi bukankah seharusnya bab terakhir itulah, yang membuat kita lebih termotivasi lagi, untuk meninggalkan tinta emas pada jejak langkah kita. *Wallahualam bishawab*.

Kamis, 04 Agustus 2016

Belajar Geblek Dari Om Bob (1) : "Kosong Adalah Isi"

oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom


“Made, gelas ini kosong atau isi?”, Om Bob meletakkan sebuah gelas diantara kami.



Aku terdiam. Sejenak memperhatikan raut wajahnya, kemudian beralih ke benda di atas meja itu. Gelas itu membuat aku termenung.
           
Teringat perumpamaan Peter F Drucker, Sang Guru dalam dunia manajemen. Dalam bukunya Classic Drucker, Drucker memberikan analogi serupa – gelas berisi setengah air - untuk menggambarkan kondisi statistik kesehatan di Amerika pada suatu masa.

Saat itu salah satu lembaga statistik terpercaya mengeluarkan sebuah laporan tentang bagaimana keadaan kesehatan di Amerika yang meningkat pesat. Tapi herannya, seolah kontra produktif, laporan menggembirakan itu malah membuat kecemasan baru di kalangan warga Amerika Serikat. Mereka kuatir bagaimana mempertahankan kesehatan yang sedemikian itu.  Unik memang. Di sisi yang berbeda, kalangan bisnis  bereaksi positif. Dalam waktu singkat bermunculanlah berbagai bisnis kesehatan. Pusat gym, majalah kesehatan, produk alat-alat aerobik indoor, suplemen dan lain sebagainya.

“Bagaimana Made..?”, ujar Om Bob mengagetkanku, “gelas ini kosong atau isi ?”

 “Theory of Relativity, Einstein”, jawabku perlahan.

Diluar dugaan Om Bob tertawa terbahak-bahak. “Kali inipun kamu beruntung.  Jawabanmu benar!”

“And You know what Made…apapun sebuah kondisi, adalah relatif bagi setiap orang. Orang bilang menjadi entrpreneur itu penuh resiko, saya bilang menjadi karyawanlah yang beresiko. Orang bilang pake dasi keren, saya bilang pake dasi kaya kambing diiket. Mereka bilang sekolah penting, saya bilang belajarlah yang penting, bukan sekolahnya. Orang bilang si A cantik, yang lain bilang jelek. Sekelompok orang bilang ancaman, yang lain bilang itu peluang..dan sebagainya..”

Aku mendengarkan omongan Om Bob, sambil sesekali menatap gelas itu.

 “Satuhal yang terpenting”, ujar Om Bob, “melatih otak kita melihat dengan cara berbeda. Melihat dari perspektif yang lain”.

 (*)

Belajar Geblek Dari Om Bob (3) : Ketika TUHAN ikutan di Dunia Bisnis

oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom

“Orang sok pinter bilang gini jika mengalami kegagalan : ‘manusia berencana, Tuhan yang menentukan’. Lucu ya? Sudah tahu seperti itu, lalu buat apa juga orang menghabiskan waktu untuk menyusun rencananyasendiri? Mengapa tidak mencari tahu apa rencana Tuhan, kemudian itu yang dikerjakan? Dasar goblok!”




Bob Sadino (alm) memang selalu seperti itu. Ceplas-ceplos. Bicara tanpa rem. Kadang nyelekit. Tapi harus diakui, beliau banyak benernya. Berpuluh tahun ditempa pengalaman berwirausaha membuat beliau memiliki segudang kebijaksanaan.

“Tapi Om Bob..mengetahui rencana Tuhan itu bukan sesuatu yang mudah”

Hanya segelintir pengusaha sukses yang memasukkan kata “Tuhan” kedalam kosakata pribadi mereka. Kebanyakan dari mereka terbentuk mempercayai diri mereka sendiri. Inilah salah satu sisi yang kukagumi dari seorang Bob Sadino.

“Itulah gobloknya kalian. Kalian membuat yang mudah-mudah jadi sukar dan yang sukar jadi semakin ngejelimet!”

Aku sangat bersyukur disaat yang tepat bertemu Om Bob. Saat dimana aku baru saja resign dari kantor. Serasa mendapat mentor bisnis pribadi. Sungguh tak disangka-sangka sebelumnya bahwa suaatu ketika nanti, hidup akan mempertemukanku dengan pengusaha sekelas beliau.

“Hmn..begini Om..bagaimana tipsnya untuk dapat mengetahui rencana Tuhan?”

Jangankan untuk menimpali atau menjawab,  pertanyaan-pertanyaanku pun demikian terasa bodoh ketika baru saja kuucapkan.

“Tips? Jangan harap kamu akan bertemu dengan cara instan untuk urusan ini. Kalian memang selalu begitu. Apa-apa nanya tips. Apa-apa minta tricks. Pemalas!”

Gap yang terlalu lebar dan dalam, antara seorang pemula dengan seorang ahli.

 “Lalu bagaimana caranya supaya saya mengerti rencana Tuhan?”

Dibuat  merasa bodoh. Itu yang seringkali ku rasakan. Besar kemungkinan karena sejatinya aku masih bodoh. Seorang bodoh yang baru belajar pintar.

“Sadar diri bodoh!”

Tapi Om Bob benar. Adalah penting untuk sadar betapa bodohnya diri kita.

“Terus, Om..”

Bodoh adalah titik berangkat. Bingung adalah titik mulai belajar.

“Tanya Tuhanlah! Lalu perhatikan sekitar sambil menunggu jawaban-Nya”


Kebergantungan pada Tuhan mengubah yang akan mengubah kelemahan jadi kekuatan.

Selasa, 02 Agustus 2016

Kisah Sekeping Talenta Emas

oleh : Made Teddy Artiana


Lelaki berjanggut panjang keperakan itu memang memancarkan kewibawaan yang besar. Ia tampak duduk tenang dengan mata terpejam. Tangan kirinya terlihat menggenggam sebuah tongkat kayu bersisik berwarna coklat kehitaman.


Dihadapan lelaki berjubah putih itu, sekumpulan orang-orang yang membentuk setengah lingkaran, duduk berkeliling. Mereka semua tampak menundukkan kepala. Azarya, sang guru nan bijaksana, pengajar para raja dan pejabat istana, kembali mengumpulkan murid-muridnya. Tetapi tidak seperti hari-hari yang lain, dimana mereka biasa berkumpul di pinggir sungai, bukit atau pelataran istana. Hari ini mereka berkumpul dekat sebuah kandang ternak. Tidak ada seorang pun yang tahu rencana hati Azarya. Diantara lenguhan dan bau ternak, guru dan murid itu, terdiam dengan penuh hikmat.

Perlahan-lahan sang guru mengangkat tangannya. Satu keping talenta emas tampak di terjepit diantara ibu jari dan telunjuk beliau. Benda itu terlihat semakin berkilau ditimpa cahaya matahari. Para murid bergumam tidak mengerti.

“Anak-anak ku”, sang guru pun mulai bersabda,”Siapakah dari antara kalian yang menginginkan benda ini, jika aku memberikannya?”.

Kini semua mata memandang kearah ujung jari Azarya. Sekeping talenta emas. Nilainya setara dengan bayaran seratus hari kerja orang upahan. Sama sekali bukan jumlah yang sedikit. Serta merta belasan orang itu mengangkat tangannya.

“Saya guru…saya guru …!!”, seru mereka.
Sesaat Azarya tersenyum mengelus janggut nya.

“Hanya orang yang telah kehilangan akal sehatnya yang akan menolak pemberian satu keping talenta emas ini”, lanjut nya sambil menurunkan tangan.

Kemudian tangan kiri Azarya bergerak mengambil sebuah mangkuk kecil didepannya. Cairan kermizi yang berwarna merah pekat tampak mengisi separuh mangkuk itu. Perlahan-lahan keping emas itu dicelupkannya ke dalam mangkuk, hingga beberapa saat.

“Masihkah kalian menginginkan benda ini ?”, tanya Azarya sambil kembali mengacungkan keping emas yang telah berubah warna itu.
“Tentu, guru !”, jawab para murid serempak.

Azarya memandangi kepingan berwarna merah pekat di tangan nya, tiba-tiba ia membuang keping emas itu kepermukaan tanah sepelempar batu jauhnya. Beberapa muridnya terlihat menggeser tempat duduknya menjauh.

“Kau !”, tunjuk sang guru ke arah salah satu muridnya,”Tampillah ke muka”.
Orang yang ditunjuk segera menaati perintah gurunya.
”Ludahi keping emas itu !”, perintah sang guru.
Murid itu tampak ragu, ia memandang bergantian ke arah keping emas itu dan guru nya memastikan apa yang didengarnya.
”Lakukan apa yang ku perintahkan”, kata Azarya sambil tersenyum.
Segera setelah muridnya meludahi keping emas itu, Azarya kembali bertanya, “Masihkah kalian menginginkan talenta itu ?”.
“Tentu saja guru”, kembali terdengar jawaban dari arah para murid.
“Jika demikian baiklah, kau bertiga ludahi lagi dan injak-injak keping emas itu !!”, perintah Azarya.
Ketiga orang itu pun melakukan persis seperti yang gurunya perintahkan. Sekarang keping emas itu telah berubah rupa. Permukaannya yang tadinya berkilau kini tak lebih merupakan benda kotor yang sangat menjijikkan.

Azarya berdiri, mengibaskan jubahnya, kemudian berjalan menghampiri keping emas itu. Sesaat ia memandangi benda itu, kemudian ikut meludahinya.
“Anak-anakku, lihatlah benda yang menjijikkan itu.”, kata Azarya sambil memandangi wajah-wajah mereka,”Masihkah ada seseorang diantara kalian yang menginginkannya ?”.
 Murid-murid saling berpandangan satu sama lain, beberapa diantara mereka tampak mengangguk-angguk.
“Tentu Guru kami semua masih menginginkannya”, jawab mereka serempak.

Mendengar jawaban para murid, Azarya mengambil sebuah capit dari kayu. Ia memungut benda itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

“Kini dengarkanlah anak-anakku”, sang guru pun bersabda,”kalian dan siapa pun akan tetap menginginkan keping emas itu, karena apapun keadaan yang mata kalian lihat, sekeping talenta emas, tetaplah sekeping talenta emas !”

Murid-muridnya terlihat saling berpandangan, sebagian dari mereka tampak mengangguk-angguk membenarkan perkataan sang guru.

“Serupa dengan keping talenta emas ini”, Azarya melanjutkan,”diri kalian pun, senista, secacat, sehina apapun, tetaplah mulia dan berharga. Kemiskinan, kecacatan, keadaan terkeji sekalipun tidaklah sanggup mengubah nilai seorang manusia. Manusia telah diciptakan demikian mulia”

Azarya memandangi murid-muridnya lekat-lekat, setelah itu ia berjalan ke arah kandang ternak yang berada tak jauh dari mereka. Mereka segera bangkit, mengikuti Azarya dari belakang.

“Seperti apa yang ku janjikan kepada kalian.”, kata Azarya sambil menoleh,”Aku akan memberikan keping talenta emas ini kepada siapa pun yang mengingingkannya. Ambillah !”.

Dengan satu gerakan, Azarya melemparkan keping emas itu ke dalam tumpukan kotoran ternak yang tampak menggunung. Segera saja keping talenta emas itu membenam tak terlihat. Belum lagi Azarya menjauh dari tempat itu, murid-muridnya yang berjumlah belasan itu merangsek masuk ke dalam kandang. Mereka saling mendorong, berdesakan, saling himpit. Tidak sedikit dari mereka yang terinjak-injak oleh temannya sendiri Beberapa orang malah terlihat bergulat diantara kotoran ternak. Yang lain terlihat saling tinju dan saling hantam. Bak dihajar angin puting beliung, serta merta kandang yang semula aman damai itu jadi begitu berantakan. Lembu, kambing, domba berlarian keluar. Pagar kayu dan dinding kandang rusak berat. Azarya sesaat membiarkan kerusuhan itu terjadi, hingga ia merasa waktunya cukup.

“Hentikan !”, seru sang guru dan perkelahian itu pun serta merta berhenti,“rupanya kalian belum juga mengerti. Barangsiapa bertelinga hendaklah mendengar ! Camkanlah apa yang ku katakan kepadamu hari ini dan belajarlah darinya.”

Azarya segera menghampiri murid-muridnya yang tidak hanya terluka perkelahian namun juga berlumuran kotoran hewan.

”Sang Khalik, Pencipta kita, mengerti benar betapa berharga diri kita, manusia-manusia ini. Begitu juga dengan iblis-iblis jahat penghuni kegelapan, mereka juga tahu persis betapa mulianya kita. Satu-satunya yang sering tidak mengerti akan tingginya harga itu adalah kita, manusia itu sendiri. Manusia sering tidak mengetahui betapa mulianya ia dicipta. Bahkan tidak jarang, karena kebodohannya, manusia menukar kemuliannya dengan sesuatu yang sama sekali tidak berharga. Jadi mulai saat ini, jangan biarkan apapun dan siapapun bahkan hidup ini mendustai kalian, dan membuat kalian tidak berharga. Karena kalian jauh lebih mulia dari ribuan keping telenta emas !!”. (*)


"Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia,  dan Aku ini mengasihi engkau.." 

Senin, 01 Agustus 2016

80% Keberuntungan, 20% Kerja Keras

oleh : Made Teddy Artiana


Hampir disetiap pertemuan dengan seseorang yang saya anggap telah sukses, selalu saja ada godaaan untuk melontarkan pertanyaan berikut. Tips nya apa nih Pak supaya sukses/kaya seperti Bapak? hampir dapat dipastikan jawaban yang selalu saya terima adalah : bekerja keras. Sebagian orang tentu sependapat dengan saya, bahwa jawaban itu klise dan standard banget. Celakanya, walaupun berulang kali menerima jawaban yang itu-itu saja, rupanya saya tidak pernah kapok.

Suatu saat dalam sebuah kesempatan aneh, saya berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan seorang sahabat yang notabene ada pengusaha yang sangat sukses. Tetapi lucunya ketika pertanyaan yang sama saya lontarkan, agak mengejutkan juga ia menjawab dengan sangat berbeda. Menurut nya seorang yang berada pada golongan kaya, menengah atau miskin dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut.

80% hoki, 20% kerja keras adalah ciri orang kaya
50% hoki, 50% kerja keras adalah ciri orang menengah
20% hoki, 80% kerja keras adalah ciri orang miskin


Jadi rumusan itu dapat diartikan begini, jika kerja keras Anda itu 80% tetapi hanya menghasilkan sedikit, itu berarti hoki(baca : keberuntungan) Anda hanyalah 20% dan Anda sudah pasti berada pada lapisan ‘orang miskin’. Nah jika, kerja dan hasil Anda sebading, dalam artian 50% kerja, 50% hoki, dapat dipastikan Anda berada pada lapisan kedua, alias kelas menengah. Hal yang sama berlaku pada lapisan teratas atau golongan orang kaya.

Pertama kali ketika mendengar formula itu saya pribadi spontan membantah nya. Kok bisa ? kira-kira begitu kata-kata pembuka yang saya gunakan. Apalagi jika mendengar kata ‘hoki’ serta merta pikiran saya terarah pada sesuatu yang bersifat ‘bawaan’ atau ‘anugerah’ atau ‘dari sononya’ alias nggak bisa dipaksain. Wong udah nggak hoki gitu loh…kira-kira demikian. Sedari dulu memang saya agak alergi dengan satu kata itu. Tetapi jujur saya tidak punya nyali untuk berdebat dengan ‘orang kaya raya’ yang sekarang duduk di depan hidung saya ini. Ngedumel dalam hati adalah pelampisan terbaik disaat-saat seperti ini. Namun syukurlah, menurut sahabat saya tersebut, hoki itu bisa diciptakan. Bisa direkayasa. Oh ya ? Sure ! Langkah pertama, ketahui dulu apa sih yang mengundang keberuntungan itu. Langkah kedua, berubah. Langkah ketiga, membiasakannya. Mendidik diri untuk terbiasa menerapkan hal itu hingga environment hoki itu terekam di alam bawah sadar kita dan pada saat diperlukan …jreeeeeeng!! Otomatis nongol kepermukaan.

Ia kemudian memberikan contoh yang sangat sederhana. Naik sepeda. Waktu baru belajar, minta ampun susahnya, babak belur, benjut dan sebagainya itu sudah biasa. Pernah bertemu orang yang baru belajar naik sepeda yang tidak pernah jatuh? Rasanya tidak pernah. Tetapi segalanya menjadi berbeda, ketika kita sudah menguasai sepeda itu. Kini pertanyaanya adalah pernah bertemu orang yang telah mahir bersepeda dan berpikir keras tentang mengayuh pedalnya? Jawabannya persis sama. Rasanya tidak pernah.

Demikianlah juga dengan kebiasaan-kebiasaan yang ‘berkuasa’ untuk mengundang hoki. Lagi-lagi menurut sahabat saya itu, ia menganjurkan untuk senantiasa berlatih hingga ketrampilan mengundang hoki itu sungguh-sungguh terekam dan menjadi kebiasaan yang mendarah daging di alam bawah sadar kita. Ditanggung kerja keras Anda tersisa hanya 20%, karena yang 80% sudah ditangani oleh binatang bernama ‘hoki’.

Bicara soal hoki, tiba-tiba saja saya teringat sebuah quote milik Thomas Lanier Williams III atau yang lebih dikenal dengan nama Tennessee Williams. Penulis sandiwara kelas dunia yang sangat tersohor disekitar tahun 1930-1983.  “Luck is believing you're lucky.” Kalimat ini dapat dijadikan starting point yang cukup bagus untuk mulai menarik hoki kepangkuan kita. Untuk mengundang hoki datang, sangat simple, yakni mempercayai bahwa kita beruntung.

Satu hal lagi, ijinkan saya sedikit mengutip sebuah kalimat dari seorang yang paling bijaksana yang pernah hidup didunia ini, Raja Solaiman, namanya Dalam sebuah syair beliau pernah menulis : “Percuma saja bekerja keras mencari nafkah, bangun pagi-pagi dan tidur larut malam; sebab TUHAN menyediakannya bagi mereka yang dikasihi-Nya, sementara mereka sedang tidur. “

Menggelitik memang. Apakah segalanya ini terlalu disederhanakan ? Ataukah memang demikian sederhana, hanya saja karena campur tangan kita ini, manusia-manusia yang sering menganggap dirinya begitu pandai, akhirnya malah merumitkan segala yang sesuatu.

Lepas dari itu semua, siapapun di dunia ini, termasuk sahabat saya itu, tentu bebas memformulasikan apapun yang dianggapnya resep ‘cespleng’ untuk sukses. Dan mereka sesuai dengan frekuensinya akan menarik realitanya masing-masing. Bagaimana dengan Anda ? Ingin coba resep sahabat saya ? Kalau boleh jujur saya pribadi tengah menerapkan formula hoki-hokian itu. Semoga dalam 90 hari kedepan saya telah merasakan hasilnya. Seperti kata pepatah wong londo...We never know, until we try. (***)

Sabtu, 30 Juli 2016

NEVER GIVE UP! (Pelajaran Hidup dari Seorang Penderita Kanker Colon)

oleh : Paramitha Srikandi


Saya divonis oleh dokter kanker colon. Waktu pertama kali ketahuan, kanker saya pada stadium 2 b. Dokter menganjurkan saya untuk operasi potong usus waktu itu.. saya tidak mau. Saya memutuskan untuk jalani kemotherapy dan pengobatan saja.

Saya tidak pernah menyerah.. meskipun tubuh terasa lemah. Selain suami dan anak, yang memotivasi saya untuk bertahan hidup adalah ibu saya.

Pada saat divonis kanker, yang ada dalam pikiran saya saat itu adalah.. jika saya mati .. bagaimana dengan ibu?? Siapa yang akan merawat  dia. Saya memiliki seorang anak perempuan yang sudah menikah dan sekarang menetap di Bali.  

Karena kekuatiran akan ibu itulah saya berdoa.. “ya Tuhan.. jika saya masih dibutuhkan oleh 1 org saja di dunia ini, biarkanlah saya sembuh.. namun jika tidak ada satu orang pun yang membutuhkan saya.. Tuhan boleh mengambil saya malam ini.”

Dan Tuhan mendengar doaku. Ia masih memberikan kehidupan kepada saya sampai hari ini.

Saat ini. Saya menulis sambil menangis...
Namun saya bersyukur semua teman disekitar saya selalu mendukung..

Saya yang dulunya intruktur erobic. Zumba. Belly dance. Bl.. yang dulu sudah sampe tingkat profesional.. kebanggaan saya pada semua itu seperti hanya tinggal kenangan. Semua itu tidak bisa menyelamatkan hidup saya.

Disuatu titik dalam hidup saya, akhirnya saya memutuskan mempelajari yoga. Fokus pada meditasi..
Saya merasakan jiwa saya bangkit..
“Never give up! .. I trust my prayer!”

Intinya.. jangan biarkan pikiran negatif masuk ke otak dan batin karena itu mempengaruhi tubuhmu.

Obat dokter malah tidak saya minum... saya lakukan cara yoga..Bersihkan usus dengan nauli kriya.. saya minum obat herbal.. dr daun sirsak dan semua suplemen food apapun daya minum.
Gak bosan ya saya cerita Mas...
Oh ya.. besok saya berangkat ke bali, ke Pasraman Markandeya.

Saya sangat beruntung. Suami saya adalah suami yang luar biasa.. dia menyemangati hidup saya.. selalu membuat saya bahagia..

Dikala ada org disekeliling saya melihat saya tak ada rambut.. dan menggunjingkan saya.. dia bilang.. “Biarin.. kepalamu itu keren.. mereka gak bakal berani gundul dan berkeliaran seperti kamu”


Banyak yang telah dilakukan olehnya. Suami saya tahu saya suka kartun.. tiap hari saya menonton film kartun. Tiap minggu menyempatkan diri untuk berjalan-jalan ..sebagai hiburan, suami saya membelikan hp sampai 3..khusus buat bermain game..dia juga yg pilihkan game bagus-bagus.. sampai sekarang aku masih memainkan game-game di hp itu.. hahaha.. Mulai saat saya sakit, sampai skrg.. dia selalu menyempatkan diri mengajak saya pergi tamasya.. kesukaan saya senam pun dia turuti.. meskipun waktu itu saya lemah.. dia suruh saya ajak teman untuk pergi workshop .. saya tidak pernah berhenti mengajar..Hal itu membuat daya tahan tubuh bertambah.. 

Saya bisa hidup sampai sekarang.. itu seperti hidup untuk kedua kalinya yang dianugerahkan Tuhan kepada saya.. maka saya ingin menggunakannya sebaik mungkin.. Banyak berbuat kebajikan ..bersihkan hati dan pikiran.. percayalah..hidup akan lebih indah daripada sebelumnya..

Semoga sharing ini bermanfaat bagi sesama. Sebelumya saya telah meminta ijin kepada suami untuk menshare kisah ini dan ia setuju.


Sadhu sadhu sadhu,

Paramitha Srikandi. 


* Untuk kebaikan sesama, kisah ini sudah mendapat ijin dari beliau dan suami untuk disebarluaskan. Teriring doa yang tulus untuk kesembuhan ibu Paramitha Srikandi dari setiap mereka yang membaca kisah ini. TUHAN memberkati ibu sekeluarga *

Jumat, 29 Juli 2016

Belajar Hidup Dari Penderita Kanker

Cerita singkat yang sangat inspiratif dari seorang kawan, yang penuh dengan berbagai talenta, mahasiwa Phd di FEMTO-ST, Perancis. Gemala Cempaka Hapsari.

"Seperti temanku yg baru meninggal kemarin. Usia beliau 58 tahun, udah kena kanker otak sejak umur 25 waktu masih tinggal di Indonesia, belum menikah & masih kerja jadi pramugari Garuda.

Udah operasi angkat kanker 2x. Tahun lalu wkt ketemu pas aku undang kumpul2 piknik di region sini, si mbak ini datang didorong kursi roda, di leher dan perutnya dilubangi karena fungsi otot kerongkongannya dan otot perut udah kacau (gak bisa menelan jadi makan harus lewat selang di leher & buang air lewat selang dari pusar). Tapi beliau masih semangat, 3 minggu sebelum meninggal walaupun bulak balik masuk RS karena kemoterapi & terapi lain (yg sifatnya clinical trial) tapi bikin planning mo hiking ke Swiss, lagi sibuk menanam bunga2 baru di kebun, lagi planning mo renovasi dapur (dia suka bertukang juga, sama seperti aku) dll dsb.

Aku mengidolakan dan mencontoh org2 yg aktif, yg bersemangat. Mereka yg menginspirasi aku terus .. "


Gemmy..thanks. So inspiring!

(*)

Kamis, 21 Juli 2016

Kau Dengan Gunungmu. Aku Dengan Gunungku (bag. 1)


oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom

“Begitu banyak orang takut akan persaingan. Ini aneh. Karena permulaan kehadiran kita di dunia ini dimulai dalam sebuah proses persaingan. Mungkin kita dapat belajar dari sebuah proses pembuahan. Sel sperma yang berjuta-juta itu harus bersaing sedemikian rupa untuk membuahi satu sel telur. Mereka harus berlomba berenang begitu cepat, berebut untuk mengawini satu sel telur tersebut. Dan yang kuat, cepat, tangguh akan keluar sebagai pemenang”

Demikianlah uraian yang berulang kali ku dengar dari salah seorang tokoh agama yang sangat terkenal, guru sekaligus seseorang yang sangat kukagumi. Tapi menurutku beliau hanya separuh benar.

Mengapa?

Aku dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang memelihara sebuah persaingan sebagai budaya tak terlepaskan dari kehidupan mereka. (Siapa sih yang tidak? Aku rasa kita semua mengalami nasib yang sama).

Mula-mula di dunia pendidikan. Sebagian besar dari kita terbiasa dan terpaksa belajar dan memperoleh prestasi, seolah-olah seperti dalam sebuah arena persaingan. Juara satu, dua dan tiga. Ranking sepuluh besar.

Kebiasaan ini diteruskan dalam dunia kerja, baik dunia profesional maupun bisnis.

Tips dan trick memenangkan kompetisi.
Kiat mengalahkan pesaing.
Cara mengetahui strategi Competitor.
Sebelas langkah untuk segera dipromosikan.
Seratus jurus untuk melampaui karir atasan Anda di kantor.
Dsb..dst

Kepala ini sudah terlanjur terdoktrin tentang dengan : persaingan.  Saking membatunya, hampir tidak ada lagi yang berani bertanya : apakah semua ini mutlak benar? Benarkah segalanya begitu terbatas? Benarkah hidup ini tidak menyediakan kecukupan untuk semua orang?

Benarkan TUHAN yang sangat tidak terbatas itu sedemikian miskin, sehingga kita ‘ditakdirkan’ harus saling sikut, saling rampas, adu cepat, adu licik, main dukun, sogok sana sini hanya atas nama memenangkan persaingan. Sementara DIA diatas sana berdiri sebagai wasit –sang pengadu domba- mengganjari para pemenang dan menertawai pecundang-pecundang malang.

Bersambung...

"Kuperintahkan kau untuk berhenti berpikir!!"


oleh Made Teddy Artiana

Bayangkan jika perintah itu datang dari boss Anda. Gilingan kan?!

Tapi alasan dibalik perintah itu yang unik. Bentar..bentar..begini kalimat lengkapnya :

“Kuperintahkan kau untuk berhenti berpikir! SEBAB...kalau kau berpikir, aku ikut-ikutan berpikirrrr !!”

HAHAHA!

Benar! Itu perintah sinting dari Jendral Nagabonar ke Lukman, anak buahnya yang paling hobby mikir.

Tapi..tapi...
Sebelum tersesat lebih jauh, sepertinya perlu diperjelas. Jika menghadapi sebuah masalah, biasanya ada 2 gaya berpikir.
Satu. Memikirkan masalahnya.
Dua. Memikirkan solusinya.

Nah...Anda tipikal yang mana???

Sebagai penutup, berikut sebuah joke yang penting tentang mikir!

Ketika astronout Amerika ingin pergi ke bulan mereka mendapat sebuah kesulitan, karena pena (pulpen) yang biasa mereka pakai ternyata tidak berfungsi di ruang hampa. Maka NASA melakukan riset beberapa tahun untuk menciptakan tinta hi-tech yang kebal terhadap kondisi ruang hampa. Mereka menghitung sedemikian rupa intensitas, kepatan dan berat jenis tinta tersebut sehingga dimanapun –bahkan diruang hampa- tinta itu tetap masih bisa digunakan. Namun berbeda dengan astronout Rusia, mengetahui tinta umum tidak beroperasi di bulan sana, mereka membawa pensil !

Wkwkwkwk!

Rabu, 20 Juli 2016

Letakkan Sejenak Gelas di Tanganmu


Oleh : Made Teddy Artiana




Lelaki itu mengangkat gelas berisi air di tangannya. Mengambang di udara. Sementara, sekian banyak orang di hadapannya tampak mengisyaratkan ketidakmengertian. Para pendengar memilih untuk bersabar. Menunggu dalam diam. Tidak ada yang terjadi, selain gelas yang terangkat dan mata yang tertuju ke gelas itu. 

Beberapa saat kemudian sesuatu mulai terjadi. Kepalan tangan laki-laki itu tampak semakin erat. Gelas dan air mulai bergetar. Perlahan tapi pasti, getarannya bertambah kuat. Urat tangan kian terlihat jelas bermunculan. Gelas itu berguncang hebat dan air yang mengisinya mulai tumpah. Hingga kemudian...tangan lelaki itu terkulai...prang!! Akhirnya, gelas lepas dari genggaman, dan berkeping-keping menumbuk lantai. 

 “Beban seringan apapun, jika terus-menerus dipegang, akan menjadi beban yang tidak sanggup kita tanggung”, ujar laki-laki bijak itu dengan tenang namun sangat serius. Stephen Covey, sang pencetus “The Seven Habits” sedang ingin mengajarkan tentang sesuatu. 

Seringkali, kita terlalu takut untuk meletakkan sejenak gelas di tangan kita. Mungkin kita kuatir ada seseorang yang akan menyambar gelas itu, begitu diletakkan. Mungkin kita merasa segala kesibukan itu demikian berarti hidup-mati, sorga-neraka buat kita. Atau bisa jadi kita mengganggap tidak cukup waktu untuk melakukan hal-hal yang tampak remeh, untuk me-refresh diri. Tidak ada yang sadar pasti tentang keadaan diri masing-masing. Mungkin hanya TUHAN, Malaikat dan Setan yang tahu, sementara kita sendiripun terkurung kesibukan. 

 Satu hal yang pasti : gelas itu, jika tidak diletakkan pasti akan jatuh dan hancur berkeping-keping.

Silakan coba sendiri.

Rabu, 13 Juli 2016

Lebah vs Lalat

oleh : Made Teddy Artiana

Menyaksikan tayangan dunia binatang di televisi kerap membawa kita pada sebuah pencerahan. Kehidupan lebah misalnya. Lewat instingnya, akan selalu menemukan bunga, sebagai makanannya. Oleh instingnya, kehidupan lebah pun berkutat di seputar: bunga, madu, bunga, madu… dan seterusnya. Lain halnya dengan lalat (bukan lalat buah). Lantaran insting pula, lalat bagaimanapun juga akan menemukan kotoran. Sejauh-jauhnya lalat terbang, ujung-ujungnya selalu akan mendarat di kotoran.


Mari kita lupakan sejenak insting kedua binatang tadi! Sekarang kita coba aplikasikan dalam kehidupan manusia. Sebagai manusia kita memiliki kehendak bebas dari Sang Pencipta.  Kebebasan memilih apa pun yang akan kita masukkan di hati kita. Kita bebas menafsirkan segala sesuatu yang terjadi sesuka-sukanya. Bahkan Tuhan sekalipun, tidak mendikte isi hati kita.

Jika demikian, hati kitalah yang akan menentukan berkutat dalam hidup seperti apa kita sekarang dan nanti. Itulah sebabnya, ada orang yang mulia, sukses, sehat dan bahagia. Namun, ada juga yang gagal, sakit-sakitan, kekurangan, dan tidak merasa bahagia. Tentu itu semua itu bukan kebetulan karena tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Semuanya rangkaian sebab dan akibat. Terlalu naif pula, jika perbedaan ”status” kehidupan itu melulu kita kaitkan pada sebuah variabel: kerja keras. Tanpa sikap hati yang benar, kerja keras terbukti hanya melelahkan kita saja.

Adalah bijak untuk selalu mengaktifkan, membiasakan, memperkuat ”insting lebah” kita. Supaya betapapun keadaannya, kita akan selalu menemukan bunga untuk menghasilkan madu. Dalam arti kehidupan yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.

Kita tentu tidak ingin kehidupan kita seperti lalat, berkutat dalam kotoran, sampah, bau busuk, pergaulan buruk, perkawinan yang berantakan, kesehatan yang menyedihkan, kesulitan finansial, hidup yang morat-marit, dan berakhir pada kehinaan. Kehinaan yang tentu turut menyebarkan penyakit (pengaruh buruk) bagi orang lain

Jika demikian, maka kesimpulannya adalah bagaimana menjaga hati kita. Itu sejalan dengan peringatan Raja Sulaiman: ”Jagalah hatimu, dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (*)



sumber foto ilustrasi : http://berksandschuylkillbeekeepers.org/wp-content/uploads/2015/08/bee-on-flower5.jpg

Uang dan Aktualisasi Diri

oleh : Made Teddy Artiana

Sungguh  mengherankan jika tokoh sekaliber Peter Drucker (alm) pernah menganjurkan agar seluruh perusahaan komersial di Amerika Serikat, belajar manajemen dari organisasi nirlaba. Padahal organisasi keagamaan, lingkungan hidup, bahkan kepramukaan telah terlanjur dilabelkan sebagai organisasi ”tanpa” manajemen.

Ini bisa dianalogikan seperti memerintahkan anak itik belajar berenang ke ayam betina. Namun, karena Sang Penganjur adalah Peter Drucker—yang dianggap sebagai ”penemu” manajemen—maka saran itu pun mau tidak mau mendapat perhatian dari seluruh CEO perusahaan komersial saat itu.



Menurut Drucker, ada beberapa hal  yang mendasari rekomendasi tersebut. Dua hal yang utama adalah:  Pertama, organisasi nirlaba memiliki visi dan misi yang spesifik dan jelas. Kedua, dalam organisasi nirlaba, para relawan merasa terpuaskan aktualisasi dirinya. Dalam arti mereka dapat melihat sendiri dampak dari apa yang mereka lakukan bagi organisasi.

Tersirat kuat dari rekomendasi itu, uang dalam berbagai bentuk, seperti  gaji besar, tunjangan hidup mewah dan sebagainya, ternyata tidak selalu menjadi hal utama yang motivasi manusia. Aktualiasi diri, sebagaimana yang di sampaikan Abraham Maslow dalamhierarchy of needs, masih menempati peringkat pertama kebutuhan manusia.

Rupert Murdoch, seorang konglomerat media, mengatakannya dengan cara yang berbeda”Money is not the motivating force. It's nice to have money, but I don't live high. What I enjoy is running the business.” Henry David Thoreau, seorang filsuf pun, menyimpulkannya dengan indah ”Wealth is the ability to fully experience life.”

Beberapa kenyataan dalam hidup mungkin memperlihatkan betapa uang sanggup menyengsarakan, merendahkan bahkan membunuh manusia. Tetapi semuanya itu tetap tidak membuktikan bahwa uang berada di atas manusia. Selama manusia tidak merendahkan harkat dirinya, selama itu juga uang tidak lebih dari sekedar alat tukar.

Sementara aktualisasi diri, dalam arti yang sebenarnya dapat dimaknai sebagai saat di mana manusia sadar siapa dirinya dan tujuan hidupnya serta mengerjakan panggilannya tersebut.(*)



sumber foto ilustrasi  : http://barnraisersllc.com/wp-content/uploads/2011/11/Peter_Drucker_Coach_Library_TV.jpg

Memanah Kemustahilan

oleh : Made Teddy Artiana

Sepintas,  bisa jadi kita mencurigai jika ikan ini salah desain. Betapa tidak, semua jenis ikan memperoleh makanannya dari dalam air karena memang ikan hidup di sana. Namun, ikan Pemanah (Toxotes jaculatrix) ini berbeda dari ikan biasa: hidup di dalam air dengan makanan berada di luar air. Makanan ikan Pemanah biasanya serangga-serangga yang terbang di udara. Sesekali hinggap di daun, ranting, dan bunga.

Bagaimana mungkin ikan Pemanah dapat hidup? Justru di sini keistimewaannya. Ikan Pemanah telah diperlengkapi dengan ”senjata” yang luar biasa unik. Ikan ini mampu menyemburkan air dan menembak mangsanya yang berada hingga jarak 2 meter dari dalam air. Panah air dengan ketepatan 99.99%,  inilah yang kemudian membuat mangsanya jatuh ke air, sebelum akhirnya dimangsa ikan Pemanah. Sebuah bentuk kehidupan yang sangat unik.


Bila kita renungkan sungguh-sungguh, kadang ada hal dalam hidup kita yang mirip dengan keadaan ikan Pemanah. Sayangnya begitu banyak manusia, yang merupakan makhluk Tuhan paling mulia, ternyata terlalu cepat putus asa dalam menghadapi tantangan hidup. Tanpa mau berpikir panjang, sering kita tergesa-gesa melabel kesulitan, keterbatasan, tantangan dengan kata ”mustahil”. Lalu mengibarkan bendera putih. Lebih dari itu, kita menyalahkan apa saja yang bisa kita salahkan, termasuk Tuhan. Seolah-olah Tuhan tidak becus, salah desain, dan sama bodohnya dengan kita, manusia. Padahal Tuhan tentu sangat tahu dengan rancangan-rancangan yang ada di tangan-Nya. Bisa jadi satu-satunya, yang perlu kita lakukan adalah menemukan ”senjata unik” itu dalam diri kita.inilah yang kemudian membuat mangsanya jatuh ke air, sebelum akhirnya dimangsa ikan Pemanah. Sebuah bentuk kehidupan yang sangat unik.

Sungguh benar, setiap orang memiliki keterbatasan dan tantangannya sendiri-sendiri, namun adalah mutlak benar pula bahwa kita telah didesain dan dipersenjatai sedemikian rupa oleh Pencipta untuk menaklukkan berbagai tantangan dalam hidup ini, jika kita mau. Dengan kesadaran yang demikian, bisa jadi hidup kita akan jauh berbeda (*)

sumber fot  ilustrasi : http://i.dailymail.co.uk/i/pix/2012/10/22/article-2221324-159EB319000005DC-754_634x779.jpg

Ide

Oleh : Made Teddy Artiana


Idea like a virus, resilienet and highly contagious”, ujar Cobol (Leonardo Dicaprio) dalam film Inception. Malcolm Galdwell pun dalam bukunya Tipping Point terlebih dulu menulis demikian “Ideas and product and messages and behaviors spread like viruses do”. Jika demikian, sewajarnyalah kita berhati-hati dengan ide.

Kalau saja kita mengambil waktu sesaat untuk berhitung tentang seberapa banyak ide yang tersebar di sekitar kita, mungkin kita akan terkaget-kaget. Ide tentang sukses, kekayaan, motor, mobil, rumah, makanan, makanan, fashion, pacaran, pernikahan dan lain sebagainya.

Mungkin sederhana, tapi cobalah merenung lebih dalam lagi. Apa ide yang ditawarkan oleh sinetron, film dan iklan? Dalam lagu-lagu yang setiap menit, jam, hari kita dengar? Surat kabar, majalah, media sosial?

Rupanya, semua orang menawarkan, mengekspresikan bahkan menjual ide mereka tentang bagaimana manusia dan kehidupan itu. Sesungguhnyalah kita hidup di abad dimana manusia kebanjiran ide.  


Lambat laun, ide yang ‘diterima’ kemudian menjadi standar dalam masyarakat. Semacam social identity. Belum tentu benar. Kalaupun benar, mungkin sekarang tapi belum tentu benar selama-lamanya. Dan inilah yang kemudian membentuk peradaban manusia : ide.

Akhirnya disanalah kita dan anak-cucu menemukan ‘identitas palsu’ kita. Peperangan, kejahatan, materialistis, fanatisme sempit, bunuh diri, korupsi, terorisme, kawin cerai, berselingkuh, obat bius..semuanya hanyalah persoalan ide. Ironis memang. Namun demikianlah adanya.

Adalah amat sangat masuk akal jika kita seharusnya berbalik, lalu menengadah ke atas, dan bertanya pada Sang Pencipta mengenai ide-Nya tentang kita : manusia dan kehidupan. Untuk apa aku ada? Untuk apa hidup ini? Dan akan kemana setelah ini?


Sepertinya, ide TUHAN tentang kita teramat sangat dapat dipercaya, karena memang Dialah satu-satunya pencipta, pemilik dan penguasa manusia, kehidupan dan semesta. Sayangnya hanya sedikit orang yang kepikiran tentang hal sederhana itu. Lalu, mengapa tidak segera bertanya? Mumpung masih hidup.. (*)

sumber foto ilustrasi : 

Ethos, Pathos dan Logos

Oleh : Made Teddy Artiana


Sungguh menakjubkan menyaksikan kepiawaian komunikasi Oprah Winffrey dalam talkshow Oprah Show  -yang demikian terkenal di seluruh dunia itu- dengan para tamunya. Oprah seakan selalu berhasil memahami mereka dengan sangat baik. Menangkap setiap message, bahkan yang tersembunyi sekalipun. Sesuatu yang memang sangat tidak mudah untuk dilakukan orang pada umumnya.
Sebagian orang yang terlalu menggampangkan sebuah komunikasi, suatu kali akan mendapati diri mereka terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang destruktif. Bahkan tidak mustahil, situasi yang lebih buruk dari itu, pertengkaran dan permusuhan. Sebaliknya, mereka yang merasa bahwa berkomunikasi dengan orang lain demikian sulit, akan memilih untuk menyendiri, diam atau menghindar. Ini pun tentu kurang bijak, karena potensial menimbukan jarak, lalu kesalahpahaman.
Komunikasi memang merupakan sesuatu yang ‘gampang-gampang susah’. Padahal komunikasi adalah kritikal bagi kita, manusia yang diciptakan sebagai mahluk sosial. Mahluk yang ditakdirkan untuk selalu berinteraksi dengan sesamanya.
                Bercermin pada kebudayaan Yunani, mereka ternyata memiliki tiga filosofi unik dalam berkomunikasi :  ethos, pathos dan logos.



Ethos menyangkut tentang karakter dan kredibilitas pribadi seseorang. Sebuah penilaian yang lahir dari sekian rentang waktu pembuktian dan ini bukan hasil dari sebuah pencitraan. Anda tentu merasa lebih nyaman mengetahui kemampuan seseorang yang ada hubungannya dengan bidang yang ingin Anda komunikasikan.
Lalu, pathos menyangkut tentang empati. Tentang bagaimana seseorang menempatkan diri dalam harmoni, kemudian bisa memahami keadaan, masalah dan perasaan orang lain. Siapapun butuh didengar. Anda tentunya tidak ingin berkomunikasi dengan seseorang yang hanya sibuk dengan pikirannya sendiri tanpa keinginan mendengarkan orang lain.
Logos adalah penalaran atau logika. Bagaimana seseorang menggunakan kecerdasannya untuk berkomunikasi, menanggapi ataupun memberikan solusi.
Kehilangan salah satu saja dari ketiga hal tersebut, akan membuat komunikasi tidak bermanfaat secara maksimal. Dan siapapun tahu, tidak akan pernah ada kehidupan yang berhasil dan bahagia, tanpa komunikasi yang terjalin secara baik.

(*)

Selasa, 12 Juli 2016

Belajar Menghukum Dari Suku Babemba


Oleh : Made Teddy Artiana

“Bagaimana mungkin aku melupakan kejadian itu. Kaulah yang menyelamatkan ayahku dari terkaman harimau!”

“Ketika rumah kami terbakar, kaulah satu-satu orang yang berani menerobos masuk dan membawa keuar bayi kami”

“Yang paling aku ingat dari dirimu adalah, ketika kami sekeluarga kelaparan karena ladang gagal panen, kau dengan senang hati berbagi makanan dengan kami setiap harinya”
....


Suku Babemba di Afrika sana, punya ritual menghukum yang unik. Jika seseorang kedapatan melanggar adat atau melakukan sebuah kesalahan, maka penduduk desa berkumpul disekelilingnya. Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menceritakan semua hal baik yang dulu pernah dilakukan oleh si pembuat kesalahan. Tidak boleh ada yang mengucapkan tuduhan atau hal buruk, semua hanya mengatakan yang baik-baik saja. Setelah  semua orang kebagian untuk “mengata-ngatai” orang itu, mereka pun meninggalkannya seorang diri untuk merenung.

Sekarang tengoklah sekitar kita, masyarakat modern yang jauh lebih terpelajar. Bagaimana kita memberlakukan sebuah penghukuman? Begitu jauh berbeda dari apa yang dilakukan oleh suku Babemba. Jangankan untuk mengatakan hal yang baik, yang membangun, kita cenderung melampiaskan amarah kita kepada mereka yang bersalah. Bahkan tidak jarang kita menghina dan merendahkan mereka secara personal. Tidak perduli keluar dari konteks, yang penting kita puas. Penghukuman yang sangat destruktif.

              Yang lebih aneh lagi adalah, kemudian kita berharap dari kecaman tanpa ampun yang kita lakukan, orang yang bersalah itu kemudian dapat memiliki motivasi dan harga diri yang utuh untuk memperbaiki kesalahan mereka. Seharusnya kita sadar bahwa sampai kapanpun kecaman, ancaman yang membuat trauma, kata-kata negatif, penghinaan tidak akan mengantarkan siapapun ke arah yang lebih baik. Semua itu lebih mungkin menghantarkan seseorang untuk membenamkan diri lebih dalam di kubangan lumpur, dibandingkan membuatnya kuat dan percaya diri untuk bangkit kemudian berjalan lagi.


        Kesalahan dibuat oleh semua orang. Namun hanya sedikit dari mereka yang mau mengakui dan menarik pelajaran dari kesalahan. Dan lebih sedikit lagi orang bijak yang sanggup memperlakukan orang yang bersalah dengan tepat. (*)

foto ilustrasi : http://www.gateway-africa.com/tribe/zulu-tribe.jpg

Kelinci vs Kura-Kura

oleh : Made Teddy Artiana

Adalah sebuah perlombaan lari antara seekor kura-kura dan kelinci. Kelinci dengan pongah yakin bahwa dirinyalah yang akan memenangkan perlombaan itu. Sementara kura-kura tetap tenang tidak terusik oleh sesumbar kelinci. Perlombaanpun dimulai. Kelinci segera berlari secepat-cepatnya meninggalkan kura-kura. Merasa sudah pasti menang, di tengah jalan kelinci memutuskan untuk beristirahat. Tanpa ia sadari, karena kelelahan, kelincipun tertidur pulas. Sementara kura-kura lambat-laun tiba di tempat itu, lalu meneruskan perlombaan hingga garis akhir. Alhasil kura-kura yang dinilai lamban itulah yang kemudian keluar sebagai pemenang.

Dongeng klasik yang sarat dengan nilai-nilai kebaikan di atas tentu akrab di telinga kita. Yang menakjubkan dari semua itu adalah, filosofi kura-kura kemudian diadopsi ke dalam sebuah sistem produksi mobil modern.



“Kura-kura yang lamban tapi konsisten mengakibatkan lebih sedikit pemborosan dan jauh lebih diinginkan daripada kelinci yang cepat dan mengungguli perlombaan dan kemudian berhenti setelah selang beberapa waktu untuk beristirahat. Toyota Production System hanya dapat direaisasikan jika semua karyawan menjadi kura-kura”, ujar Taiichi Ohno salah seorang arsitek yang menyusun blue print dari Toyota Production System.

Seolah mengaminkan ucapan Taiichi Ohno, para pemimpin Toyota-pun berpendapat serupa. “Kami lebih suka lambat dan mantap seperti kura-kura daripada cepat dan tersentak-sentak seperti kelinci. (The Toyota Way, Jeffrey K. Liker, 2004)

            Bukan rahasia lagi jika kita lebih menyukai cara kerja seekor kelinci dibandingkan kura-kura. Masyarakat modern terlanjur menganggap kecepatan adalah segalanya. Kita terburu-buru  mengejar sesuatu dan diburu-buru oleh segala sesuatu. Sebelum akhirnya kelelahan, stress dan tidak jarang kehilangan arah tujuan yang sebenarnya.

Tentu ini jauh berbeda dengan apa yang diterapkan Toyota dalam Toyota Production System. Untuk menghilangkan Muda (pemborosan), Muri (memberi beban berlebih) dan Mura (ketidakseimbangan), mereka memanfaatkan filosofi kura-kura. Alih-alih bekerja secepat-cepatnya dengan target sebanyak-banyaknya, Toyota lebih memilih konsistensi dalam mengerjakan hal-hal kecil secara berkesinambungan, walaupun terkesan lambat.


Ternyata tanpa sebuah konsistensi dan arah yang jelas, kecepatan kemungkinan besar contra productive (*) 


Comments System