Kamis, 21 Juli 2016

Kau Dengan Gunungmu. Aku Dengan Gunungku (bag. 1)


oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom

“Begitu banyak orang takut akan persaingan. Ini aneh. Karena permulaan kehadiran kita di dunia ini dimulai dalam sebuah proses persaingan. Mungkin kita dapat belajar dari sebuah proses pembuahan. Sel sperma yang berjuta-juta itu harus bersaing sedemikian rupa untuk membuahi satu sel telur. Mereka harus berlomba berenang begitu cepat, berebut untuk mengawini satu sel telur tersebut. Dan yang kuat, cepat, tangguh akan keluar sebagai pemenang”

Demikianlah uraian yang berulang kali ku dengar dari salah seorang tokoh agama yang sangat terkenal, guru sekaligus seseorang yang sangat kukagumi. Tapi menurutku beliau hanya separuh benar.

Mengapa?

Aku dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang memelihara sebuah persaingan sebagai budaya tak terlepaskan dari kehidupan mereka. (Siapa sih yang tidak? Aku rasa kita semua mengalami nasib yang sama).

Mula-mula di dunia pendidikan. Sebagian besar dari kita terbiasa dan terpaksa belajar dan memperoleh prestasi, seolah-olah seperti dalam sebuah arena persaingan. Juara satu, dua dan tiga. Ranking sepuluh besar.

Kebiasaan ini diteruskan dalam dunia kerja, baik dunia profesional maupun bisnis.

Tips dan trick memenangkan kompetisi.
Kiat mengalahkan pesaing.
Cara mengetahui strategi Competitor.
Sebelas langkah untuk segera dipromosikan.
Seratus jurus untuk melampaui karir atasan Anda di kantor.
Dsb..dst

Kepala ini sudah terlanjur terdoktrin tentang dengan : persaingan.  Saking membatunya, hampir tidak ada lagi yang berani bertanya : apakah semua ini mutlak benar? Benarkah segalanya begitu terbatas? Benarkah hidup ini tidak menyediakan kecukupan untuk semua orang?

Benarkan TUHAN yang sangat tidak terbatas itu sedemikian miskin, sehingga kita ‘ditakdirkan’ harus saling sikut, saling rampas, adu cepat, adu licik, main dukun, sogok sana sini hanya atas nama memenangkan persaingan. Sementara DIA diatas sana berdiri sebagai wasit –sang pengadu domba- mengganjari para pemenang dan menertawai pecundang-pecundang malang.

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comments System