Sabtu, 30 Juli 2016

NEVER GIVE UP! (Pelajaran Hidup dari Seorang Penderita Kanker Colon)

oleh : Paramitha Srikandi


Saya divonis oleh dokter kanker colon. Waktu pertama kali ketahuan, kanker saya pada stadium 2 b. Dokter menganjurkan saya untuk operasi potong usus waktu itu.. saya tidak mau. Saya memutuskan untuk jalani kemotherapy dan pengobatan saja.

Saya tidak pernah menyerah.. meskipun tubuh terasa lemah. Selain suami dan anak, yang memotivasi saya untuk bertahan hidup adalah ibu saya.

Pada saat divonis kanker, yang ada dalam pikiran saya saat itu adalah.. jika saya mati .. bagaimana dengan ibu?? Siapa yang akan merawat  dia. Saya memiliki seorang anak perempuan yang sudah menikah dan sekarang menetap di Bali.  

Karena kekuatiran akan ibu itulah saya berdoa.. “ya Tuhan.. jika saya masih dibutuhkan oleh 1 org saja di dunia ini, biarkanlah saya sembuh.. namun jika tidak ada satu orang pun yang membutuhkan saya.. Tuhan boleh mengambil saya malam ini.”

Dan Tuhan mendengar doaku. Ia masih memberikan kehidupan kepada saya sampai hari ini.

Saat ini. Saya menulis sambil menangis...
Namun saya bersyukur semua teman disekitar saya selalu mendukung..

Saya yang dulunya intruktur erobic. Zumba. Belly dance. Bl.. yang dulu sudah sampe tingkat profesional.. kebanggaan saya pada semua itu seperti hanya tinggal kenangan. Semua itu tidak bisa menyelamatkan hidup saya.

Disuatu titik dalam hidup saya, akhirnya saya memutuskan mempelajari yoga. Fokus pada meditasi..
Saya merasakan jiwa saya bangkit..
“Never give up! .. I trust my prayer!”

Intinya.. jangan biarkan pikiran negatif masuk ke otak dan batin karena itu mempengaruhi tubuhmu.

Obat dokter malah tidak saya minum... saya lakukan cara yoga..Bersihkan usus dengan nauli kriya.. saya minum obat herbal.. dr daun sirsak dan semua suplemen food apapun daya minum.
Gak bosan ya saya cerita Mas...
Oh ya.. besok saya berangkat ke bali, ke Pasraman Markandeya.

Saya sangat beruntung. Suami saya adalah suami yang luar biasa.. dia menyemangati hidup saya.. selalu membuat saya bahagia..

Dikala ada org disekeliling saya melihat saya tak ada rambut.. dan menggunjingkan saya.. dia bilang.. “Biarin.. kepalamu itu keren.. mereka gak bakal berani gundul dan berkeliaran seperti kamu”


Banyak yang telah dilakukan olehnya. Suami saya tahu saya suka kartun.. tiap hari saya menonton film kartun. Tiap minggu menyempatkan diri untuk berjalan-jalan ..sebagai hiburan, suami saya membelikan hp sampai 3..khusus buat bermain game..dia juga yg pilihkan game bagus-bagus.. sampai sekarang aku masih memainkan game-game di hp itu.. hahaha.. Mulai saat saya sakit, sampai skrg.. dia selalu menyempatkan diri mengajak saya pergi tamasya.. kesukaan saya senam pun dia turuti.. meskipun waktu itu saya lemah.. dia suruh saya ajak teman untuk pergi workshop .. saya tidak pernah berhenti mengajar..Hal itu membuat daya tahan tubuh bertambah.. 

Saya bisa hidup sampai sekarang.. itu seperti hidup untuk kedua kalinya yang dianugerahkan Tuhan kepada saya.. maka saya ingin menggunakannya sebaik mungkin.. Banyak berbuat kebajikan ..bersihkan hati dan pikiran.. percayalah..hidup akan lebih indah daripada sebelumnya..

Semoga sharing ini bermanfaat bagi sesama. Sebelumya saya telah meminta ijin kepada suami untuk menshare kisah ini dan ia setuju.


Sadhu sadhu sadhu,

Paramitha Srikandi. 


* Untuk kebaikan sesama, kisah ini sudah mendapat ijin dari beliau dan suami untuk disebarluaskan. Teriring doa yang tulus untuk kesembuhan ibu Paramitha Srikandi dari setiap mereka yang membaca kisah ini. TUHAN memberkati ibu sekeluarga *

Jumat, 29 Juli 2016

Belajar Hidup Dari Penderita Kanker

Cerita singkat yang sangat inspiratif dari seorang kawan, yang penuh dengan berbagai talenta, mahasiwa Phd di FEMTO-ST, Perancis. Gemala Cempaka Hapsari.

"Seperti temanku yg baru meninggal kemarin. Usia beliau 58 tahun, udah kena kanker otak sejak umur 25 waktu masih tinggal di Indonesia, belum menikah & masih kerja jadi pramugari Garuda.

Udah operasi angkat kanker 2x. Tahun lalu wkt ketemu pas aku undang kumpul2 piknik di region sini, si mbak ini datang didorong kursi roda, di leher dan perutnya dilubangi karena fungsi otot kerongkongannya dan otot perut udah kacau (gak bisa menelan jadi makan harus lewat selang di leher & buang air lewat selang dari pusar). Tapi beliau masih semangat, 3 minggu sebelum meninggal walaupun bulak balik masuk RS karena kemoterapi & terapi lain (yg sifatnya clinical trial) tapi bikin planning mo hiking ke Swiss, lagi sibuk menanam bunga2 baru di kebun, lagi planning mo renovasi dapur (dia suka bertukang juga, sama seperti aku) dll dsb.

Aku mengidolakan dan mencontoh org2 yg aktif, yg bersemangat. Mereka yg menginspirasi aku terus .. "


Gemmy..thanks. So inspiring!

(*)

Kamis, 21 Juli 2016

Kau Dengan Gunungmu. Aku Dengan Gunungku (bag. 1)


oleh : Made Teddy Artiana, S. Kom

“Begitu banyak orang takut akan persaingan. Ini aneh. Karena permulaan kehadiran kita di dunia ini dimulai dalam sebuah proses persaingan. Mungkin kita dapat belajar dari sebuah proses pembuahan. Sel sperma yang berjuta-juta itu harus bersaing sedemikian rupa untuk membuahi satu sel telur. Mereka harus berlomba berenang begitu cepat, berebut untuk mengawini satu sel telur tersebut. Dan yang kuat, cepat, tangguh akan keluar sebagai pemenang”

Demikianlah uraian yang berulang kali ku dengar dari salah seorang tokoh agama yang sangat terkenal, guru sekaligus seseorang yang sangat kukagumi. Tapi menurutku beliau hanya separuh benar.

Mengapa?

Aku dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang memelihara sebuah persaingan sebagai budaya tak terlepaskan dari kehidupan mereka. (Siapa sih yang tidak? Aku rasa kita semua mengalami nasib yang sama).

Mula-mula di dunia pendidikan. Sebagian besar dari kita terbiasa dan terpaksa belajar dan memperoleh prestasi, seolah-olah seperti dalam sebuah arena persaingan. Juara satu, dua dan tiga. Ranking sepuluh besar.

Kebiasaan ini diteruskan dalam dunia kerja, baik dunia profesional maupun bisnis.

Tips dan trick memenangkan kompetisi.
Kiat mengalahkan pesaing.
Cara mengetahui strategi Competitor.
Sebelas langkah untuk segera dipromosikan.
Seratus jurus untuk melampaui karir atasan Anda di kantor.
Dsb..dst

Kepala ini sudah terlanjur terdoktrin tentang dengan : persaingan.  Saking membatunya, hampir tidak ada lagi yang berani bertanya : apakah semua ini mutlak benar? Benarkah segalanya begitu terbatas? Benarkah hidup ini tidak menyediakan kecukupan untuk semua orang?

Benarkan TUHAN yang sangat tidak terbatas itu sedemikian miskin, sehingga kita ‘ditakdirkan’ harus saling sikut, saling rampas, adu cepat, adu licik, main dukun, sogok sana sini hanya atas nama memenangkan persaingan. Sementara DIA diatas sana berdiri sebagai wasit –sang pengadu domba- mengganjari para pemenang dan menertawai pecundang-pecundang malang.

Bersambung...

"Kuperintahkan kau untuk berhenti berpikir!!"


oleh Made Teddy Artiana

Bayangkan jika perintah itu datang dari boss Anda. Gilingan kan?!

Tapi alasan dibalik perintah itu yang unik. Bentar..bentar..begini kalimat lengkapnya :

“Kuperintahkan kau untuk berhenti berpikir! SEBAB...kalau kau berpikir, aku ikut-ikutan berpikirrrr !!”

HAHAHA!

Benar! Itu perintah sinting dari Jendral Nagabonar ke Lukman, anak buahnya yang paling hobby mikir.

Tapi..tapi...
Sebelum tersesat lebih jauh, sepertinya perlu diperjelas. Jika menghadapi sebuah masalah, biasanya ada 2 gaya berpikir.
Satu. Memikirkan masalahnya.
Dua. Memikirkan solusinya.

Nah...Anda tipikal yang mana???

Sebagai penutup, berikut sebuah joke yang penting tentang mikir!

Ketika astronout Amerika ingin pergi ke bulan mereka mendapat sebuah kesulitan, karena pena (pulpen) yang biasa mereka pakai ternyata tidak berfungsi di ruang hampa. Maka NASA melakukan riset beberapa tahun untuk menciptakan tinta hi-tech yang kebal terhadap kondisi ruang hampa. Mereka menghitung sedemikian rupa intensitas, kepatan dan berat jenis tinta tersebut sehingga dimanapun –bahkan diruang hampa- tinta itu tetap masih bisa digunakan. Namun berbeda dengan astronout Rusia, mengetahui tinta umum tidak beroperasi di bulan sana, mereka membawa pensil !

Wkwkwkwk!

Rabu, 20 Juli 2016

Letakkan Sejenak Gelas di Tanganmu


Oleh : Made Teddy Artiana




Lelaki itu mengangkat gelas berisi air di tangannya. Mengambang di udara. Sementara, sekian banyak orang di hadapannya tampak mengisyaratkan ketidakmengertian. Para pendengar memilih untuk bersabar. Menunggu dalam diam. Tidak ada yang terjadi, selain gelas yang terangkat dan mata yang tertuju ke gelas itu. 

Beberapa saat kemudian sesuatu mulai terjadi. Kepalan tangan laki-laki itu tampak semakin erat. Gelas dan air mulai bergetar. Perlahan tapi pasti, getarannya bertambah kuat. Urat tangan kian terlihat jelas bermunculan. Gelas itu berguncang hebat dan air yang mengisinya mulai tumpah. Hingga kemudian...tangan lelaki itu terkulai...prang!! Akhirnya, gelas lepas dari genggaman, dan berkeping-keping menumbuk lantai. 

 “Beban seringan apapun, jika terus-menerus dipegang, akan menjadi beban yang tidak sanggup kita tanggung”, ujar laki-laki bijak itu dengan tenang namun sangat serius. Stephen Covey, sang pencetus “The Seven Habits” sedang ingin mengajarkan tentang sesuatu. 

Seringkali, kita terlalu takut untuk meletakkan sejenak gelas di tangan kita. Mungkin kita kuatir ada seseorang yang akan menyambar gelas itu, begitu diletakkan. Mungkin kita merasa segala kesibukan itu demikian berarti hidup-mati, sorga-neraka buat kita. Atau bisa jadi kita mengganggap tidak cukup waktu untuk melakukan hal-hal yang tampak remeh, untuk me-refresh diri. Tidak ada yang sadar pasti tentang keadaan diri masing-masing. Mungkin hanya TUHAN, Malaikat dan Setan yang tahu, sementara kita sendiripun terkurung kesibukan. 

 Satu hal yang pasti : gelas itu, jika tidak diletakkan pasti akan jatuh dan hancur berkeping-keping.

Silakan coba sendiri.

Rabu, 13 Juli 2016

Lebah vs Lalat

oleh : Made Teddy Artiana

Menyaksikan tayangan dunia binatang di televisi kerap membawa kita pada sebuah pencerahan. Kehidupan lebah misalnya. Lewat instingnya, akan selalu menemukan bunga, sebagai makanannya. Oleh instingnya, kehidupan lebah pun berkutat di seputar: bunga, madu, bunga, madu… dan seterusnya. Lain halnya dengan lalat (bukan lalat buah). Lantaran insting pula, lalat bagaimanapun juga akan menemukan kotoran. Sejauh-jauhnya lalat terbang, ujung-ujungnya selalu akan mendarat di kotoran.


Mari kita lupakan sejenak insting kedua binatang tadi! Sekarang kita coba aplikasikan dalam kehidupan manusia. Sebagai manusia kita memiliki kehendak bebas dari Sang Pencipta.  Kebebasan memilih apa pun yang akan kita masukkan di hati kita. Kita bebas menafsirkan segala sesuatu yang terjadi sesuka-sukanya. Bahkan Tuhan sekalipun, tidak mendikte isi hati kita.

Jika demikian, hati kitalah yang akan menentukan berkutat dalam hidup seperti apa kita sekarang dan nanti. Itulah sebabnya, ada orang yang mulia, sukses, sehat dan bahagia. Namun, ada juga yang gagal, sakit-sakitan, kekurangan, dan tidak merasa bahagia. Tentu itu semua itu bukan kebetulan karena tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Semuanya rangkaian sebab dan akibat. Terlalu naif pula, jika perbedaan ”status” kehidupan itu melulu kita kaitkan pada sebuah variabel: kerja keras. Tanpa sikap hati yang benar, kerja keras terbukti hanya melelahkan kita saja.

Adalah bijak untuk selalu mengaktifkan, membiasakan, memperkuat ”insting lebah” kita. Supaya betapapun keadaannya, kita akan selalu menemukan bunga untuk menghasilkan madu. Dalam arti kehidupan yang bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.

Kita tentu tidak ingin kehidupan kita seperti lalat, berkutat dalam kotoran, sampah, bau busuk, pergaulan buruk, perkawinan yang berantakan, kesehatan yang menyedihkan, kesulitan finansial, hidup yang morat-marit, dan berakhir pada kehinaan. Kehinaan yang tentu turut menyebarkan penyakit (pengaruh buruk) bagi orang lain

Jika demikian, maka kesimpulannya adalah bagaimana menjaga hati kita. Itu sejalan dengan peringatan Raja Sulaiman: ”Jagalah hatimu, dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (*)



sumber foto ilustrasi : http://berksandschuylkillbeekeepers.org/wp-content/uploads/2015/08/bee-on-flower5.jpg

Uang dan Aktualisasi Diri

oleh : Made Teddy Artiana

Sungguh  mengherankan jika tokoh sekaliber Peter Drucker (alm) pernah menganjurkan agar seluruh perusahaan komersial di Amerika Serikat, belajar manajemen dari organisasi nirlaba. Padahal organisasi keagamaan, lingkungan hidup, bahkan kepramukaan telah terlanjur dilabelkan sebagai organisasi ”tanpa” manajemen.

Ini bisa dianalogikan seperti memerintahkan anak itik belajar berenang ke ayam betina. Namun, karena Sang Penganjur adalah Peter Drucker—yang dianggap sebagai ”penemu” manajemen—maka saran itu pun mau tidak mau mendapat perhatian dari seluruh CEO perusahaan komersial saat itu.



Menurut Drucker, ada beberapa hal  yang mendasari rekomendasi tersebut. Dua hal yang utama adalah:  Pertama, organisasi nirlaba memiliki visi dan misi yang spesifik dan jelas. Kedua, dalam organisasi nirlaba, para relawan merasa terpuaskan aktualisasi dirinya. Dalam arti mereka dapat melihat sendiri dampak dari apa yang mereka lakukan bagi organisasi.

Tersirat kuat dari rekomendasi itu, uang dalam berbagai bentuk, seperti  gaji besar, tunjangan hidup mewah dan sebagainya, ternyata tidak selalu menjadi hal utama yang motivasi manusia. Aktualiasi diri, sebagaimana yang di sampaikan Abraham Maslow dalamhierarchy of needs, masih menempati peringkat pertama kebutuhan manusia.

Rupert Murdoch, seorang konglomerat media, mengatakannya dengan cara yang berbeda”Money is not the motivating force. It's nice to have money, but I don't live high. What I enjoy is running the business.” Henry David Thoreau, seorang filsuf pun, menyimpulkannya dengan indah ”Wealth is the ability to fully experience life.”

Beberapa kenyataan dalam hidup mungkin memperlihatkan betapa uang sanggup menyengsarakan, merendahkan bahkan membunuh manusia. Tetapi semuanya itu tetap tidak membuktikan bahwa uang berada di atas manusia. Selama manusia tidak merendahkan harkat dirinya, selama itu juga uang tidak lebih dari sekedar alat tukar.

Sementara aktualisasi diri, dalam arti yang sebenarnya dapat dimaknai sebagai saat di mana manusia sadar siapa dirinya dan tujuan hidupnya serta mengerjakan panggilannya tersebut.(*)



sumber foto ilustrasi  : http://barnraisersllc.com/wp-content/uploads/2011/11/Peter_Drucker_Coach_Library_TV.jpg

Memanah Kemustahilan

oleh : Made Teddy Artiana

Sepintas,  bisa jadi kita mencurigai jika ikan ini salah desain. Betapa tidak, semua jenis ikan memperoleh makanannya dari dalam air karena memang ikan hidup di sana. Namun, ikan Pemanah (Toxotes jaculatrix) ini berbeda dari ikan biasa: hidup di dalam air dengan makanan berada di luar air. Makanan ikan Pemanah biasanya serangga-serangga yang terbang di udara. Sesekali hinggap di daun, ranting, dan bunga.

Bagaimana mungkin ikan Pemanah dapat hidup? Justru di sini keistimewaannya. Ikan Pemanah telah diperlengkapi dengan ”senjata” yang luar biasa unik. Ikan ini mampu menyemburkan air dan menembak mangsanya yang berada hingga jarak 2 meter dari dalam air. Panah air dengan ketepatan 99.99%,  inilah yang kemudian membuat mangsanya jatuh ke air, sebelum akhirnya dimangsa ikan Pemanah. Sebuah bentuk kehidupan yang sangat unik.


Bila kita renungkan sungguh-sungguh, kadang ada hal dalam hidup kita yang mirip dengan keadaan ikan Pemanah. Sayangnya begitu banyak manusia, yang merupakan makhluk Tuhan paling mulia, ternyata terlalu cepat putus asa dalam menghadapi tantangan hidup. Tanpa mau berpikir panjang, sering kita tergesa-gesa melabel kesulitan, keterbatasan, tantangan dengan kata ”mustahil”. Lalu mengibarkan bendera putih. Lebih dari itu, kita menyalahkan apa saja yang bisa kita salahkan, termasuk Tuhan. Seolah-olah Tuhan tidak becus, salah desain, dan sama bodohnya dengan kita, manusia. Padahal Tuhan tentu sangat tahu dengan rancangan-rancangan yang ada di tangan-Nya. Bisa jadi satu-satunya, yang perlu kita lakukan adalah menemukan ”senjata unik” itu dalam diri kita.inilah yang kemudian membuat mangsanya jatuh ke air, sebelum akhirnya dimangsa ikan Pemanah. Sebuah bentuk kehidupan yang sangat unik.

Sungguh benar, setiap orang memiliki keterbatasan dan tantangannya sendiri-sendiri, namun adalah mutlak benar pula bahwa kita telah didesain dan dipersenjatai sedemikian rupa oleh Pencipta untuk menaklukkan berbagai tantangan dalam hidup ini, jika kita mau. Dengan kesadaran yang demikian, bisa jadi hidup kita akan jauh berbeda (*)

sumber fot  ilustrasi : http://i.dailymail.co.uk/i/pix/2012/10/22/article-2221324-159EB319000005DC-754_634x779.jpg

Ide

Oleh : Made Teddy Artiana


Idea like a virus, resilienet and highly contagious”, ujar Cobol (Leonardo Dicaprio) dalam film Inception. Malcolm Galdwell pun dalam bukunya Tipping Point terlebih dulu menulis demikian “Ideas and product and messages and behaviors spread like viruses do”. Jika demikian, sewajarnyalah kita berhati-hati dengan ide.

Kalau saja kita mengambil waktu sesaat untuk berhitung tentang seberapa banyak ide yang tersebar di sekitar kita, mungkin kita akan terkaget-kaget. Ide tentang sukses, kekayaan, motor, mobil, rumah, makanan, makanan, fashion, pacaran, pernikahan dan lain sebagainya.

Mungkin sederhana, tapi cobalah merenung lebih dalam lagi. Apa ide yang ditawarkan oleh sinetron, film dan iklan? Dalam lagu-lagu yang setiap menit, jam, hari kita dengar? Surat kabar, majalah, media sosial?

Rupanya, semua orang menawarkan, mengekspresikan bahkan menjual ide mereka tentang bagaimana manusia dan kehidupan itu. Sesungguhnyalah kita hidup di abad dimana manusia kebanjiran ide.  


Lambat laun, ide yang ‘diterima’ kemudian menjadi standar dalam masyarakat. Semacam social identity. Belum tentu benar. Kalaupun benar, mungkin sekarang tapi belum tentu benar selama-lamanya. Dan inilah yang kemudian membentuk peradaban manusia : ide.

Akhirnya disanalah kita dan anak-cucu menemukan ‘identitas palsu’ kita. Peperangan, kejahatan, materialistis, fanatisme sempit, bunuh diri, korupsi, terorisme, kawin cerai, berselingkuh, obat bius..semuanya hanyalah persoalan ide. Ironis memang. Namun demikianlah adanya.

Adalah amat sangat masuk akal jika kita seharusnya berbalik, lalu menengadah ke atas, dan bertanya pada Sang Pencipta mengenai ide-Nya tentang kita : manusia dan kehidupan. Untuk apa aku ada? Untuk apa hidup ini? Dan akan kemana setelah ini?


Sepertinya, ide TUHAN tentang kita teramat sangat dapat dipercaya, karena memang Dialah satu-satunya pencipta, pemilik dan penguasa manusia, kehidupan dan semesta. Sayangnya hanya sedikit orang yang kepikiran tentang hal sederhana itu. Lalu, mengapa tidak segera bertanya? Mumpung masih hidup.. (*)

sumber foto ilustrasi : 

Ethos, Pathos dan Logos

Oleh : Made Teddy Artiana


Sungguh menakjubkan menyaksikan kepiawaian komunikasi Oprah Winffrey dalam talkshow Oprah Show  -yang demikian terkenal di seluruh dunia itu- dengan para tamunya. Oprah seakan selalu berhasil memahami mereka dengan sangat baik. Menangkap setiap message, bahkan yang tersembunyi sekalipun. Sesuatu yang memang sangat tidak mudah untuk dilakukan orang pada umumnya.
Sebagian orang yang terlalu menggampangkan sebuah komunikasi, suatu kali akan mendapati diri mereka terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang destruktif. Bahkan tidak mustahil, situasi yang lebih buruk dari itu, pertengkaran dan permusuhan. Sebaliknya, mereka yang merasa bahwa berkomunikasi dengan orang lain demikian sulit, akan memilih untuk menyendiri, diam atau menghindar. Ini pun tentu kurang bijak, karena potensial menimbukan jarak, lalu kesalahpahaman.
Komunikasi memang merupakan sesuatu yang ‘gampang-gampang susah’. Padahal komunikasi adalah kritikal bagi kita, manusia yang diciptakan sebagai mahluk sosial. Mahluk yang ditakdirkan untuk selalu berinteraksi dengan sesamanya.
                Bercermin pada kebudayaan Yunani, mereka ternyata memiliki tiga filosofi unik dalam berkomunikasi :  ethos, pathos dan logos.



Ethos menyangkut tentang karakter dan kredibilitas pribadi seseorang. Sebuah penilaian yang lahir dari sekian rentang waktu pembuktian dan ini bukan hasil dari sebuah pencitraan. Anda tentu merasa lebih nyaman mengetahui kemampuan seseorang yang ada hubungannya dengan bidang yang ingin Anda komunikasikan.
Lalu, pathos menyangkut tentang empati. Tentang bagaimana seseorang menempatkan diri dalam harmoni, kemudian bisa memahami keadaan, masalah dan perasaan orang lain. Siapapun butuh didengar. Anda tentunya tidak ingin berkomunikasi dengan seseorang yang hanya sibuk dengan pikirannya sendiri tanpa keinginan mendengarkan orang lain.
Logos adalah penalaran atau logika. Bagaimana seseorang menggunakan kecerdasannya untuk berkomunikasi, menanggapi ataupun memberikan solusi.
Kehilangan salah satu saja dari ketiga hal tersebut, akan membuat komunikasi tidak bermanfaat secara maksimal. Dan siapapun tahu, tidak akan pernah ada kehidupan yang berhasil dan bahagia, tanpa komunikasi yang terjalin secara baik.

(*)

Selasa, 12 Juli 2016

Belajar Menghukum Dari Suku Babemba


Oleh : Made Teddy Artiana

“Bagaimana mungkin aku melupakan kejadian itu. Kaulah yang menyelamatkan ayahku dari terkaman harimau!”

“Ketika rumah kami terbakar, kaulah satu-satu orang yang berani menerobos masuk dan membawa keuar bayi kami”

“Yang paling aku ingat dari dirimu adalah, ketika kami sekeluarga kelaparan karena ladang gagal panen, kau dengan senang hati berbagi makanan dengan kami setiap harinya”
....


Suku Babemba di Afrika sana, punya ritual menghukum yang unik. Jika seseorang kedapatan melanggar adat atau melakukan sebuah kesalahan, maka penduduk desa berkumpul disekelilingnya. Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menceritakan semua hal baik yang dulu pernah dilakukan oleh si pembuat kesalahan. Tidak boleh ada yang mengucapkan tuduhan atau hal buruk, semua hanya mengatakan yang baik-baik saja. Setelah  semua orang kebagian untuk “mengata-ngatai” orang itu, mereka pun meninggalkannya seorang diri untuk merenung.

Sekarang tengoklah sekitar kita, masyarakat modern yang jauh lebih terpelajar. Bagaimana kita memberlakukan sebuah penghukuman? Begitu jauh berbeda dari apa yang dilakukan oleh suku Babemba. Jangankan untuk mengatakan hal yang baik, yang membangun, kita cenderung melampiaskan amarah kita kepada mereka yang bersalah. Bahkan tidak jarang kita menghina dan merendahkan mereka secara personal. Tidak perduli keluar dari konteks, yang penting kita puas. Penghukuman yang sangat destruktif.

              Yang lebih aneh lagi adalah, kemudian kita berharap dari kecaman tanpa ampun yang kita lakukan, orang yang bersalah itu kemudian dapat memiliki motivasi dan harga diri yang utuh untuk memperbaiki kesalahan mereka. Seharusnya kita sadar bahwa sampai kapanpun kecaman, ancaman yang membuat trauma, kata-kata negatif, penghinaan tidak akan mengantarkan siapapun ke arah yang lebih baik. Semua itu lebih mungkin menghantarkan seseorang untuk membenamkan diri lebih dalam di kubangan lumpur, dibandingkan membuatnya kuat dan percaya diri untuk bangkit kemudian berjalan lagi.


        Kesalahan dibuat oleh semua orang. Namun hanya sedikit dari mereka yang mau mengakui dan menarik pelajaran dari kesalahan. Dan lebih sedikit lagi orang bijak yang sanggup memperlakukan orang yang bersalah dengan tepat. (*)

foto ilustrasi : http://www.gateway-africa.com/tribe/zulu-tribe.jpg

Kelinci vs Kura-Kura

oleh : Made Teddy Artiana

Adalah sebuah perlombaan lari antara seekor kura-kura dan kelinci. Kelinci dengan pongah yakin bahwa dirinyalah yang akan memenangkan perlombaan itu. Sementara kura-kura tetap tenang tidak terusik oleh sesumbar kelinci. Perlombaanpun dimulai. Kelinci segera berlari secepat-cepatnya meninggalkan kura-kura. Merasa sudah pasti menang, di tengah jalan kelinci memutuskan untuk beristirahat. Tanpa ia sadari, karena kelelahan, kelincipun tertidur pulas. Sementara kura-kura lambat-laun tiba di tempat itu, lalu meneruskan perlombaan hingga garis akhir. Alhasil kura-kura yang dinilai lamban itulah yang kemudian keluar sebagai pemenang.

Dongeng klasik yang sarat dengan nilai-nilai kebaikan di atas tentu akrab di telinga kita. Yang menakjubkan dari semua itu adalah, filosofi kura-kura kemudian diadopsi ke dalam sebuah sistem produksi mobil modern.



“Kura-kura yang lamban tapi konsisten mengakibatkan lebih sedikit pemborosan dan jauh lebih diinginkan daripada kelinci yang cepat dan mengungguli perlombaan dan kemudian berhenti setelah selang beberapa waktu untuk beristirahat. Toyota Production System hanya dapat direaisasikan jika semua karyawan menjadi kura-kura”, ujar Taiichi Ohno salah seorang arsitek yang menyusun blue print dari Toyota Production System.

Seolah mengaminkan ucapan Taiichi Ohno, para pemimpin Toyota-pun berpendapat serupa. “Kami lebih suka lambat dan mantap seperti kura-kura daripada cepat dan tersentak-sentak seperti kelinci. (The Toyota Way, Jeffrey K. Liker, 2004)

            Bukan rahasia lagi jika kita lebih menyukai cara kerja seekor kelinci dibandingkan kura-kura. Masyarakat modern terlanjur menganggap kecepatan adalah segalanya. Kita terburu-buru  mengejar sesuatu dan diburu-buru oleh segala sesuatu. Sebelum akhirnya kelelahan, stress dan tidak jarang kehilangan arah tujuan yang sebenarnya.

Tentu ini jauh berbeda dengan apa yang diterapkan Toyota dalam Toyota Production System. Untuk menghilangkan Muda (pemborosan), Muri (memberi beban berlebih) dan Mura (ketidakseimbangan), mereka memanfaatkan filosofi kura-kura. Alih-alih bekerja secepat-cepatnya dengan target sebanyak-banyaknya, Toyota lebih memilih konsistensi dalam mengerjakan hal-hal kecil secara berkesinambungan, walaupun terkesan lambat.


Ternyata tanpa sebuah konsistensi dan arah yang jelas, kecepatan kemungkinan besar contra productive (*) 


Konsep "Cicilan" dalam Kehidupan

oleh : Made Teddy Artiana
#Artikel ini kutulis saat, terjebak hujan lebat di sebuah lobby kantor clientku, yang berdinding kaca.


Menyaksikan hujan yang semula hanya butiran kemudian berubah menjadi guyuran. Persis seperti terang-gelapnya hari. Dari gulita, kemudian rembang lalu beranjak siang. Dan sore pun datang menggantikan terik, mengantar hari kembali ke malam.

Rupanya konsep "cicilan" bukan ciptaan bank, apalagi tukang kredit panci. Mereka mengadopsinya dari alam. Dan karena alam didesain oleh Sang Khalik, maka konsep "cicilan" berasal dari TUHAN.

Tidak terbayangkan jika dari malam, hari sekonyong-konyong jadi siang. Betapa mengejutkan! Bukan hanya manusia yang akan tersiksa, ayam jantanpun akan kebingungan menempatkan kukuruyuk mereka.



Lalu seandainya saja, hujan langsung tumpah, tanpa terpecah dalam butiran, seperti apa hancurnya segenap tanaman dan hewan? Daratan akan rusak berat, karena tidak siap menerima air yang digelontorkan langit.

Yang mengerikan adalah seandainya saja kita, manusia dibuat "quantum leap" alias meloncat, dari bayi langsung dewasa kemudian tiba-tiba mati, tanpa melewati masa tua.

Jika segalanya memerlukan proses, mengapa begitu banyak manusia haus akan ke-instan-an? Jelaslah..merindukan segalanya bisa jadi instan..melawan kodrat hidup. Karena bahkan memasak mie instan sekalipun diperlukan proses. Bukannya beli, telan, kenyang lalu keluarkan...

Tidak heran jika seseorang yang TIBA-TIBA saja kaya, sukses, tanpa kesiapan mental dan moral yang memadai, besar kemungkinan akan SEKONYONG-KOYONG berantakan kehidupannya.

Karena kesabaran akan sebuah proses adalah satu-satunya jalan menikmati yang terindah, dari TUHAN. Jadi segala pahit getir, manis asin, pekerjaan, bisnis dan apapun juga dalam hidup ini harus dipandang sebagai proses..menuju penggenapan suatu Mahakarya yang indah.

Seperti kata Sang Pengkotbah (Raja Sulaiman) ribuan tahun yang lalu
"Ia (TUHAN..membuat segalanya indah..pada waktu-Nya (waktu TUHAN)"

atau dalam pepatah bahasa Arab-nya : Man Shabara Zafira..
"orang yang bersabar..(tidak bisa tidak)..pasti akan beruntung"

(*)

sumber foto ilustrasi : http://frontroll.com/foto_berita/88musim_hujan.jpg

Babi Ngepet Aja Tahu!

oleh : Made Teddy Artiana

Bukan hendak mempromosikan klenik, dari ratusan spesies hantu Nusantara, penulis sangat tertarik pada "si pencuri duit" Babi Ngepet. Tidak hanya lantaran Babi Ngepet melibatkan 'teamwork' dalam aksinya, namun lebih kepada konsep unik : menjaga api.


Bagi mereka yang belum tahu, Babi Ngepet mensyaratkan setidaknya ada dua 'pemain'. Seorang penjaga api dan seorang yang jadi babinya. Meskipun tinggal di rumah, tugas menjaga api sangat kritikal. Babi Ngepet berada dalam bahaya jika apinya padam. Jadi, penentu keberhasilan pencurian Babi Ngepet ini terletak pada menjaga nyala api.

Sejatinya, Babi Ngepet dalam praktek ilmu hitamnya ini meniru sebuah konsep yang berlaku di dunia putih. Berawal dari sebuah peperangan fenomenal ribuan tahun yang lalu. Nun jauh di Timur Tengah sana, sejarah mencatat peperangan antara sebuah bangsa dengan suku-suku barbar penyembah berhala dan pelaku ritual berhubungan seks dengan binatang.

Yang menarik sebenarnya bukanlah pertempuran itu. Di sebuah bukit tak jauh dari medan perang, tampaklah seorang tua tengah mengangkat sebuah tongkat tinggi-tinggi. Seorang hamba membantu menopang tangannya. Uniknya, ketika tongkat terangkat tinggi ke langit, bangsa itu menjadi unggul dalam pertempuran. Namun ketika mereka kelelahan, dan tongkat itu melorot, hal sebaliknya terjadi. Bangsa itu terdesak oleh musuh. Singkat cerita, akhirnya bangsa itu pun memenangkan pertempuran. Bukan karena lebih kuat dan hebat, namun karena ada dua orang yang "menjaga api" mengangkat tongkat tinggi ke langit.

Ratusan tahun setelah peperangan itu, seorang raja yang konon adalah manusia terkaya dan paling bijaksana disepanjang masa meringkas pertempuran itu kedalam kalimat indah. Sebuah tips yang kemudian menjadi petunjuk bagi siapa pun yang ingin hidup berkemenangan dalam segala hal.

"Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari sanalah terpancar kehidupan".
(*)

foto ilustrasi : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjr1ncAWbnkDtC1eyEPSU24P3c2qaZw6Y-ttwGNE8zIC3VL8SVQcfzy4OFJcj-3E7sNTCmUyW5azb5CyLQ3Q7fKUzNiTcBQddBFT4GzonO1vuDKYOerGGRv9XmpjudwKOT7Awiso9gYycg/s1600/BABI+NGEPET.jpg

"Kapan Kamu Nikah?"

oleh : Made Teddy Artiana

Bagi sebagian orang pertanyaan ini netral saja, tapi bagi sebagian yang lain -percayalah- pertanyaan ini lebih menyeramkan dari sidang pidana.


Bangsa yang paling merasa memiliki "toto kromo", ternyata harus belajar dari budaya Barat. Terutama dalam hal menghormati "privasi" dan "hak asazi" seorang anak. Masih banyak orang tua (orang yang lebih tua) yang seenaknya saja masuk ke kamar anak, tanpa mengetok pintu. Memaksakan pilihan studi ke anak mereka. Membuka surat, catatan, hal-hal pribadi anak tanpa perasaan bersalah. Membebani anak dengan berbagai syahwat matre keinginan orang tua setelah si anak berpenghasilan. Menyusahkan anak yang akan menikah dengan target berat kemewahan resepsi pernikahan. Sampai kepada 'mengintimidasi' anak dengan air mata dan wajah penuh penderitaan lewat pertanyaan "Kapan kamu nikah? MAMA INI MALU KAMU BELUM NIKAH!!"

Dalam budaya tertentu orang tua ditempatkan pada posisi setingkat dewa. Seolah tidak pernah salah. Padahal semakin tua, siapa pun akan semakin banyak berbuat salah. Sementara anak, seringkali tak lebih dari "objek penderita" yang harus selalu ikut kemauan orang tua. Jika tidak..kualat! Jika tidak..tidak akan sukses!! Jika tidak..masuk neraka!!!

Arogansi ala dongeng Malin Kundang yang hanya berujung pada depresinya (penderitaan) sang anak.

Sebagai wakil TUHAN di dunia ini sebaiknya orang tua tetap sadar bahwa orang tua hanyalah "wakil" dan bukan TUHAN.

Satu pertanyaan yang kiranya pantas direnungkan oleh siapa pun yang ingin jadi orang tua adalah : "Seandainya anak diberi kebebasan untuk memilih siapa yang menjadi orang tua mereka oleh TUHAN, akankah mereka memilih Anda sebagai orang tua mereka??"

* sungguh beruntunglah aku memiliki orang tua yang memberikan hati, hidup dan pikirannya seluruhnya bagi anak-anak mereka. Tanpa pamrih. *

sumber foto ilustrasi : http://moodringcolorchart.com/wp-content/uploads/2016/01/url-12.jpg

Lupakan Jurus-Jurus Itu!!!

oleh : Made Teddy Artiana

Seorang guru tengah mengajari salah satu muridnya, yang tercerdas,sebuah jurus pamungkas. Yang jadi masalah, keadaan sama sekali tidak menguntungkan tiga orang musuh yang sakti tengah menunggu dengan tidak sabar. Pertarungan hidup mati sudah disiapkan. Keringat dingin mengalir di dahi keduanya. Jurus pertama..kedua..ketiga..hingga kelima, hingga tiba diakhir jurus kelima, sang guru bertanya, "Bagaimana ? Apakah kau ingat jurus-jurus itu tadi ?". Dengan mata terbelalak..dan wajah pucat muridnya menjawab,"Ttti..tidak". Diluar dugaan sang guru menjawab, "Bagus!! Lupakan saja.Sekarang bertarunglah!!" Mendengar seruan sang guru, ketiga musuh segera merangsek dengan gugup murid melawan sekenanya. Namun aneh, jurus-jurus yang diajarkan sang guru muncul begitu saja, mengalir, tidak persis sama dengan yang diajarkan oleh sang guru, tetapi memiliki jiwa yang sama. Dengan kata lain,jurus yang sama bekerja dengan cara berbeda oleh guru dan murid.


Anda benar. Adegan itu hanya sebuah film kungfu yang diangkat dari sebuah legenda Cina yang sarat dengan ajaran kebijakan. Moral ceritanya adalah Dalam mempelajari ilmu apapun termasuk ilmu kewiraswastaan membaca itu baik..menghafal itupun baik ..bahkan menciplak juga kadang menghasilkan tetapi yang utama dari semua itu adalah nikmati..rasakan..hingga meresap kebagian terdalam diri kita.. hingga menyatu dengan diri…hingga jurus-jurus itu beraksi…tidak sama dengan siapapun juga.

Jika Anda seorang profesional... nikmati pekerjaan Anda hingga kesumsum terdalam. 
Jika Anda seorang entrepreneur... rasakan kenikmatan perjalanan seorang entrepreneur jangan terlalu pedulikan ujung perjalanan itu entah kaya atau miskin, entah bangkrut atau jaya, apapun itu lakukan yang terbaik, buang semua beban.

Bergerak bebas mengalir, kadang searah air kadang berlawanan dengan aliran air. Nikmati! Hidup itu sungguh-sungguh indah. (*)

sumber foto ilustrasi : http://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/medias/538620/big/jet-li-140110b.jpg

Senjata Pamungkas Bernama Emosi

oleh : Made Teddy Artiana


Ishq hain woh ehsaas. Ishq hain woh jazbaat
Badal de ye duniya. Badal de ye halaat

Cinta merupakan perasaan yang luar biasa. Cinta adalah perasaan yang kuat
Cinta bisa mengubah dunia. Cinta bisa mengubah keadaan

Penggalan syair dari soundtrack drama serial Jodha Akbar, “In Aankhon Mein Tum” beserta terjemahannya.

Dalam cerita bernuansa sejarah tersebut, dikisahkan Kaisar Jalaludin Muhammad Akbar, penguasa tanah Hindustan yang semula demikian kejam, angkuh dan tanpa perikemanusian telah diubah menjadi  ‘manusia mulia’ oleh Jodha, seorang wanita lembut, baik hati dan tulus. Uniknya, setelah ‘memiliki hati’ sang Kaisar justru terlibat berbagai konflik emosional. Yang patut diacungi jempol adalah kepiawaian penulis yang demikian berhasil mengangkat, menyajikan kemudian melibatkan penonton dalam berbagai emosi.



Sejatinya memang demikian.  Manusia diciptakan begitu kaya akan berbagai emosi. Cinta, amarah, tenang, cemburu, iri hati, tersinggung, sayang, keterkalahan, merasa tersisih, dan sebagainya. Sayangnya, kita sering punya paradigma keliru tentang emosi.  Kita menganggap emosi mewakili keadaan yang negatif, seperti ‘tidak terkendali’ atau ‘sesuatu yang melemahkan’. Bahkan kemudian kita mempertentangkan emosi dengan saudara sepupunya, yaitu : intelektualitas. Sungguh sebuah perbandingan yang sangat keliru.

Padahal, emosi bukanlah musuh manusia. Justru lewat emosi kita dapat mengenali, menikmati  kemudian meresapi dengan utuh seluruh keindahan kehidupan. Sejatinya pula, emosi dikaruniai oleh Sang Pencipta demi sesuatu yang luhur adanya. Misalkan saja : rasa kuatir. Jika diteliti lebih jauh, rasa kuatir, bisa jadi merupakan sebuah peringatan dini tentang sebuah keadaan yang mungkin tidak menguntungkan.

Namun demikian, sebagaimana layaknya dengan kekuatan pikiran (intelektualitas), adalah benar bahwa emosi merupakan tuan yang buruk, namun budak yang baik. Rasa kuatir yang berlebihan tanpa disertai tindakan-tindakan yang positif tentu saja berujung pada sesuatu yang buruk.

Jadi hal yang sebaiknya dilakukan bukanlah melenyapkan emosi kita, namun lebih kepada mengenali, mengendalikan dan menggunakannya sebagai daya motivasi demi kehidupan yang mulia. (*)



sumber foto ilustrasi : http://sharingdisini.com/wp-content/uploads/2013/05/emosi-dapat-mempengaruhi-organ-dalam-.jpg

Daud vs Goliat : Redefinisi “Keunggulan” dan “Kelemahan”

oleh : Made Teddy Artiana

Hanya sedikit pertarungan yang melegenda sebagaimana pertarungan Daud dan Goliat. Pertarungan yang sarat oleh makna simbolik ini terus dikenang hingga berabad-abad setelahnya. Goliat raksasa, berpengalaman, prajurit profesional. Daud kecil, sangat belia, seorang gembala. Senjata merekapun semakin melengkapi keganjilan pertempuran itu. Goliat : pedang, tombak, perisai dan baju zirah perang yang menutup seluruh tubuh terkecuali dahi. Sedangkan Daud, ketepel. Perbedaannya memang sangat kontras.

Sejauh ini, menurut penulis, ulasan terbaik mengenai pertempuran keduanya, disajikan oleh Max Lucado dalam “Facing The Giants”. Hingga analisa Malcolm Gladwell mengenai keduanya dalam “David and Goliath”. Demikian provokatif, menarik perhatian penulis. Sementara Lucado membungkus kemenangan Daud dengan kata “mukjizat”, Gladwell lebih memilih melihat dari sisi kemanusiaan. Kemenangan Daud adalah sebuah “keharusan”, menurut Galdwell. Bagaimana tidak..Daud lincah, cepat sedangkan Goliat, lantaran dibebani  oleh ukuran tubuh, baju dan senjata menjadi lamban. Daud prajurit pelontar (jarak jauh), Goliat prajurit infantri (jalan kaki). Senjata Goliat primitif, sedangkan senjata Daud jauh lebih modern : prototipe sebuah senapan. Beberapa analisa para ilmuwan juga menyimpulkan bahwa Goliat menderita rabun.



Ternyata kriteria kita mengenai keunggulan dan kekurangan sering terlalu naif. Apa yang terlanjur kita remehkan sebagai kekurangan, terbukti merupakan keunggulan. Demikian juga sebaliknya. Apa yang kita banggakan sebagai kekuatan, ternyata menyimpan potensi kelemahan.

Contoh, seseorang yang hanya lulusan SMA, atau putus kuliah bisa jadi kita kategorikan sebagai : kurang berpendidikan. Namun Bob Sadino, Bill Gates, Mark Zuckerberg dan hampir seluruh tokoh enterpreneur berpendapat, mereka yang hanya lulusan SMA jauh lebih berpeluang untuk menjadi pengusaha sukses, lantaran orisinalitas pikiran mereka masih terjaga.

Tidak berlebihan jika kita simpulkan, bahwa yang terpenting adalah strategi dalam menggunakan seluruh ‘persenjataan’ yang diberikan oleh Sang Pencipta. Pelabelan terlalu dini tentang “keunggulan” hanya membuat kita lengah dan “kelemahan” yang membuat kita kalah sebelum berperang. (*)



sumber foto ilustrasi : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiSlmf168-PkjNN2f_jth6NFloMJXKEWDUmjXv0uEVOPu76uq3bcPS0GoHwK3-L2k7KBsemJdFl1fRQdONF7SO45ts4sIq4HeOXEYqhRauts45dq0mJDRb96XqUoz4s9FOm9jLlVaLzKAu0/s1600/David+and+Goliath.jpg

Tidak Terlatih Untuk Mendengar

oleh : Made Teddy Artiana

“Sayang anak! Sayang anak!”, teriak seorang bapak sembari mengacung-acungkan boneka.
“Dijual murah, Pak! Dijual murah, Bu!”, sahut pedagang yang lain di ujung sana.
“Baju tidur, Kakak. Gak panas. Lembut di kulit!”, tak mau kalah, seseorang berseru sambil menunjukkan sebentuk baju tidur.


Hampir semua pedagang berteriak di sini. Demikian hiruk-pikuk. Tapi justru disitu uniknya. Situasi pasar malam selalu inspiratif untukku. Teriakan mereka mengingatkanku pada sebuah bagian dari kitab Amsal Raja Salomo, seorang raja paling berhikmat yang pernah ada di muka bumi.
“Bukankah hikmat berseru-seru, dan kepandaian memperdengarkan suaranya? Di atas tempat-tempat yang tinggi di tepi jalan, di persimpangan jalan-jalan, disanalah ia berdiri, di samping pintu-pintu gerbang, di depan kota, pada jalan masuk, ia berseru dengan nyaring :” (Amsal 8:1-3)
Jika direnungkan, paling tidak ada empat hal menarik dari tulisan Raja Salomo ini.
Pertama, amsal melukiskan hikmat sebagai sesuatu yang hidup. Suatu mahluk ciptaan Tuhan yang sangat menyukai manusia. Ia bergerak, berteriak, menyukai atau tidak menyukai sesuatu.
Kedua, soal inisiatif. Ternyata sejak awal inisiatif itu datang dari sang hikmat. Hikmatlah yang berinisiatif memperkenalkan diri kepada manusia. Tidak hanya diam, menunggu ditemukan.
Ketiga, mengenai upaya. Upaya yang dilakukan oleh sang hikmat luar biasa. Bukan hanya “say hello”, sapa sana-sini, tapi berteriak-teriak. Ia berusaha keras manusia memilikinya.
Keempat, mengenai tempat. Hampir tidak ada tempat yang tidak didatangi oleh hikmat. Ia ada disegala penjuru.
                Berarti pengalaman Isaac Newton ‘buah apel yang terjatuh’, air bak mandinya Archimedes yang tumpah, Mozart yang mengaku tidak menciptakan dan hanya tinggal mengambil simfoninya utuh-utuh dari ‘udara’, dan lain sebagainya, bisa jadi merupakan insiden menangkap teriakan-teriakan hikmat.
Jika hidup kita mentok, gagal, salah melangkah, tidak ada solusi, besar kemungkinan bukan lantaran kebijaksanaan itu jauh di ujung bumi, bukan pula karena Tuhan tidak menjawab kita, namun bisa jadi karena kitalah yang tidak terlatih untuk mendengar. (*) 


sumber foto ilustrasi : http://www.alodokter.com/wp-content/uploads/2015/08/Cara-Membersihkan-Telinga-dengan-Tepat-Alodokter.jpg

Comments System