oleh : Made Teddy Artiana
Bapakku
kawin lagi. Aku ditinggalin
Aku
sakit hati. Ibuku diduain
Ibuku
minta cerai. Tapi dipukulin
Bapakku
pengkhianat
Ibuku
dibohongin
Sekilas memang agak lucu syair
lagu diatas. Seperti lagu ngasal yang
dinyanyikan sebagai bahan gurauan dengan
kawan-kawan. Tetapi menjadi tidak lucu lagi, bahkan sangat tidak lucu ketika
tiba di bagian reffrein lagu.
Kata-kata makian jelas disebutkan penuh kebencian. Yang sangat tidak lucu ini
kemudian menjadi mengerikan manakala kita mengetahui –lewat videoklip- bahwa penyanyi Lelaki Kardus
itu adalah seorang bocah perempuan. Tidak hanya itu, backing vocal yang menyenandungkan kata-kata makian pun adalah
sekumpulan anak kecil!
Sebagian beralasan ini adalah
perlawanan terhadap poligami. Yang lain beranggapan ini adalah perang kaum
lemah terhadap KDRT. Apapun pembenarannya, jelas ini tidak dapat diamini begitu
saja. Orang tua –wakil TUHAN di bumi- yang seharusnya menginspirasikan hal-hal
mulia, kini malah jadi perusak anak-anak mereka sendiri, dengan menularkan
dendam dan kebencian.
Mari kita menengok kebelakang sejenak. Kebijakan-kebijakan lokal di berbagai daerah yang kerap kali menggunakan dongeng sebagai alat bantu pendidikan anak. Bukan tanpa sebab pula jika para orang tua di jaman nabi Musa, diperintahkan untuk menceritakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kasih dan kuasa TUHAN kepada anak-cucu mereka. Berulang-ulang.
Kata-kata orang tua, sebagaimana lagu, dan juga film, memiliki daya resap yang luar biasa
ke bawah sadar seorang anak. Apalagi lewat pengulangan. Apakah itu merusak atau membangun, semuanya
itu akan terlihat hasilnya ketika anak-anak semakin beranjak dewasa. Dan orang
tua, sebagaimana hukum yang berlaku bagi para penabur- akan menuai apa yang
mereka tanamkan ke anak-anak mereka. Tidak hanya berhenti di hukum tabur-tuai,
yang paling serius adalah : pada akhirnya nanti, kesemuanya itu harus mereka
pertanggungjawabkan dihadapan Sang Khalik. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar